Kamis, 22 Desember 2011


TUGAS KELOMPOK V

Oleh :Adi Ngadiman,MM

  1. MAKALAH PENDEKATAN DAN PENGEMBANGAN KTSP Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran Dosen : Akhmad Sudrajat, M.Pd Disusun Oleh : Kelompok V Anngota: Ida Parida Iyan Rosdiana Rika Septiani Tanto Sutanto II D PENDIDIKAN EKONOMI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS KUNINGAN 2010
  2. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis bias menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kurikulum dan Pembelajaran, yang berjudul”Pendekatan dan Pengembangan KTSP”. Dalam penyusunan makalah ini penulis sampaikan ucapan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada Dosen pembimbing Akhmad Sudrajat, M.Pd selaku Dosen Mata Kuliah Kurikulum dan Pembelajaran serta rekan-rekan kuliah dan juga keluarga. Makalah ini semoga bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi semua pihak umumnya serta dapat membantu dalam perkuliahan Mata Kuliah Kurikulum dan Pembelajaran. Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran atas makalah ini dapat membantu penulis dalam pembelajaran. Kuningan, Maret 2010 Penulis
  3. DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I DESKRIPSI 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB II ANALISIS 2.1 Pengertian KTSP 2.2 Pendekatan dan Pengembangan KTSP 2.3 Keunggulan dan Kelemahan KTSP BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran DAFTAR PUSTAKA
  4. BAB I DESKRIPSI 1.1 Sejak tahun 2006, Pusat Kurikulum telah melakukan kegiatan pendampingan ter-hadap satuan pendidikan (sekolah) agar mampu mengembangkan dan mengimplementasikan KTSP yang mengacu pada Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan serta Pelaksanaan kedua standar tersebut. Pada tahun 2008, Pusat Kurikulum sudah memprogramkan untuk melakukan pendampingan di 441 kabupaten dan kota, namun program tersebut hanya bisa dilaksanakan di sebagian besar kabupaten dan kota dan diutamakan yang letaknya jauh dan terpencil. Hal itu mengingat adanya pemotongan yang cukup besar terhadap anggaran kegiatan Pusat Kurikulum. Oleh karena itu penulis akan membahas mengenai Pendekatan dan Pengembangan KTSP. 1.2 Dalam penyusunan makalah ini penulis merumuskan tentang: • Apakah definisi dari KTSP? • Bagaimana Pendekatan dan Pengembangan dari KTSP itu ? • Apa saja keunggulan dan kelemahan dari KTSP ? 1.3 Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, yaitu: • Untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kurikulum dan Pembelajaran • Untuk mengetahui definisi tentang KTSP • Untuk mengetahui pendekatan dan Pengembangan KTSP • Untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan dari KTSP
  5. BAB II ANALISIS 2.1 Pengertian Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah sebuah kurikulum operasional pendidikan yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP secara yuridis diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penyusunan KTSP oleh sekolah dimulai tahun ajaran 2006/2007 dengan mengacu pada Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk pendidikan dasar dan menengah sebagaimana yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional masing-masing Nomor 22 Tahun 2006 dan Nomor 23 Tahun 2006, serta Panduan Pengembangan KTSP yang dikeluarkan oleh BSNP. Pada prinsipnya, KTSP merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SI, namun pengembangannya diserahkan kepada sekolah agar sesuai dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL. Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam persyaratan kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi merupakan pedoman untuk pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang memuat: • kerangka dasar dan struktur kurikulum,
  6. • beban belajar, • kurikulum tingkat satuan pendidikan yang dikembangkan di tingkat satuan pendidikan, dan • kalender pendidikan. SKL digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. SKL meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran. Kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Pemberlakuan KTSP, sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan SI dan SKL, ditetapkan oleh kepala sekolah setelah memperhatikan pertimbangan dari komite sekolah. Dengan kata lain, pemberlakuan KTSP sepenuhnya diserahkan kepada sekolah, dalam arti tidak ada intervensi dari Dinas Pendidikan atau Departemen Pendidikan Nasional. Penyusunan KTSP selain melibatkan guru dan karyawan juga melibatkan komite sekolah serta bila perlu para ahli dari perguruan tinggi setempat. Dengan keterlibatan komite sekolah dalam penyusunan KTSP maka KTSP yang disusun akan sesuai dengan aspirasi masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah dengan diluncurkannya Peraturan Mendiknas No. 22 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Mendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Untuk mengatur pelaksanaan peraturan tersebut pemerintah mengeluarkan pula Peraturan Mendiknas No 24 tahun 2006. Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting diantaranya bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang kemudian dipopulerkan dengan istilah KTSP.
  7. 2.2 Pendekatan dan Pengembangan KTSP  Terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan pendampingan yaitu sebagai berikut: (1) Pendekatan Hirarkhi Birokrasi (Bureaucratic Hierarchies Approach): pendampingan yang dilakukan berdasarkan pada tingkatan kebijakan birokrasi mulai dari pusat, dinas, sampai ke sekolah; (2) Pendekatan Keahlian (Expertise Approach): pendampingan yang dilakukan oleh para ahli dari perguruan tinggi yang memiliki kapasitas konsepsi dan substansi kurikulum; (3) Pendekatan Model (Modeling Approach): pendampingan yang dilakukan dengan menggunakan sekolah yang sudah memiliki KTSP sebagai model; dan (4) Pendekatan Kolegial(Colleague Approach): pendampingan yang dilakukan melalui teman sejawat seperti MKKS, KKG, dan MGMP. Pendekatan-pendekatan pendampingan tersebut dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau secara eklektik. Dalam kaitan tersebut, Pusat Kurikulum memilih pendekatan yang bersifat eklektik karena hal tersebut tampak lebih baik jika hanya menggunakan salah satu pendekatan.  Terdapat beberapa Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk
  8. pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP . KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:  Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya  Beragam dan terpadu  Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni  Relevan dengan kebutuhan kehidupan  Menyeluruh dan berkesinambungan  Belajar sepanjang hayat  Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga komponen yaitu:  Mata Pelajaran;  Muatan Lokal dan  Pengembangan Diri. 2.3. Keunggulan Dan Kelemahan KTSP KTSP yang juga. merupakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) memiliki berbagai keunggulan dan kelemahan.  Keunggulan konsep ini: 1. Untuk mengantisipasi permasalahan pendidikan, namun secara umum, KTSP bisa 'diandalkan' menjadi patokan menghadapi tantangan masa depan dengan pembekalan keterampilan pada peserta didik. 2. KTSP memiliki kemampuan beradaptasi dengan daerah ,setempat, karena keterampilan yang diajarkan berdasarkan pada lingkungan dan kemampuan peserta didik.
  9. 3. Adanya penghargaan bagi pribadi peserta didik. Peserta didik yang mampu menyerap materi dengan cepat akan diberi tambahan materi sebagai pengayaan, dan peserta didik yang kurang akan ditangani oleh guru dengan penuh kesabaran dengan mengulang materinya atau memberi remedial. 4. Peserta didik juga diajak bicara, diskusi, wawancara dan membahas masalah- masalah yang kontekstual, yang dalam kenyataannya memang diperlukan sehingga peserta didik menjadi lebih mengerti dan menjiwai permasalahannya karena sesuai dengan keadaan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. 5. Peserta. didik tidak hanya dituntut untuk menghafal namun yang lebih penting sudah adalah belajar proses sehingga men dorong peserta didik untuk meneliti dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.  Kelemahan yang mungkin saja timbul dari pelaksanaan KTSP ini adalah : 1. Diperlukannya waktu yang cukup oleh pendidik dalam membina perkembangan peserta didiknya, terutama peserta didik yang berkemampuan di bawah rata-rata. Kenyataan membuktikan, kondisi sosial dan ekonomi yang menghimpit kesejahteraan hidup para guru, 2. Kurang berkonsentrasi dalam proses pembelajaran. Belum lagi mengingat kualitas guru yang kurang merata di setiap daerah. Ini artinya, KTSP menghadapi kendala daya kreativitas dan beragamnya kapasitas guru untuk membuat. kurikulum sendiri. 3. KTSP menuntut kemampuan guru dalam menjalankan pembelajaran berbasis kompetensi dengan merencanakan sendiri bagaimana strategi yang tepat diterapkan sesuai dengan kondisi dan kemampuan daerah setempat. 4. Di samping masalah fasilitas pendidikan di sekolah yang masih sangat minim. Padahal konsep ini lebih menitikberatkan pada praktek di lapangan sesuai dengan kompetensi yang dimiliki dibanding teori semata. 5. Kendala lain yang dialami guru adalah ketidakpahaman mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluasi dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assessment lama dengan tes-tes dan ulangan- ulangan yang cognitive-based semata.
  10. 6. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan kegiatan belajar mengararnya. 7. Berkenaan dengan tidak adanya target materi dalam KTSP, di satu pihak KTSP menekankan kompetensi peserta didik yang berarti proses belajar harus diperhatikan oleh guru, di pihak lain materi meskipun tidak diprioritaskan tetapi akhirnya harus diselesaikan juga. Dengan demikian guru harus berpacu dengan waktu, sementara proses belajar tidak dapat dipastikan keberhasilannya. Hal ini berdampak pada rendahnya hasil belajar peserta didik yang dibinanya, yang berujung pada penolakan kebijakan pemerintah tentang Ujian Nasional (UN) sebagai dasar penentuan kelulusan peserta didiknya. Guru Sebagai Fasilitator Dalam Membantu Peserta Didik Membangun Pengetahuan Salah satu ciri pembelajaran efektif adalah mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya (Dit-PLP, 2003). Ciri inilah yang dikembangkan dalam pembelajaran KTSP dan berkaitan dengan filsafat konstruktivisme. Tugas penting guru pada pendidikan formal di sekolah di antaranya adalah membantu peserta didik untuk mengenal dan mengetahui sesuatu, terutama memperoleh pengetahuan. Dalam pengertian konstruktivisme, pengetahuan itu merupakan "proses menjadi", yang pelan-pelan menjadi lebih lengkap dan benar. Pengetahuan itu dapat dibentuk secara pribadi dan peserta didik itu sendiri yang membentuknya. Peran guru atau pendidik adalah sebagai fasilitator atau moderator dan tugasnya adalah merangsang atau memberikan stimulus, membantu peserta didik untuk mau belajar sendiri dan merumuskan pengertiannya. Guru juga mengevaluasi apakah gagasan peserta didik itu sesuai dengan gagasan para ahli atau tidak. Sedangkan tugas peserta didik aktif belajar, mencerna, dan memodifikasi gagasan sebelumnya. Dalam KTSP dianut bentuk pembelajaran yang ideal yaitu pembelajaran peserta didik aktif dan kritis. Peserta didik tidak kosong, tetapi sudah ada pengertian awal tertentu yang harus dibantu untuk berkembang. Maka modelnya adalah model
  11. dialogis, model mencari bersama antara guru dan peserta didik. Peserta didik dapat mengungkapkan gagasannya, dapat mengkritik pendapat guru yang dianggap kurang tepat, dapat mengungkapkan jalan pikirannya yang lain dari guru. Guru tidak menjadi diktator yang hanya menekankan satu nilai satu jalan keluar, tetapi lebih demokratis. Dalam KTSP, pendidikan yang benar harus membebaskan peserta didik untuk berpikir, berkreasi, dan berkembang. Implementasi KTSP sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikan yang memungkinkan tumbuhnya semangat intelektual dan ilmiah bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini berkaitan adanya pergeseran peran guru yang semula lebih sebagai instruktor atau selalu memberi instruksi dan kini menjadi fasilitator pembelajaran. Guru dapat melakukan upaya- upaya kreatif serta inovatif dalam bentuk penelitian tindakan terhadap berbagai teknik atau model pengelolaan pembelajaran yang mampu menghasilkan lulusan yang kompeten. Perlunya Perubahan Paradigma Mengajar Dengan KTSP, guru mengajar supaya peserta didik memahami yang diajarkan dan mampu memanfaatkannya dengan menerapkan pemahamannya baik untuk memahami alami lingkungan sekitar maupun untuk solusi atau pemecahan masalah sehari-hari. Kegiatan mengajar bukan sekedar mengingat fakta untuk persediaan jawaban tes sewaktu ujian. Akan tetapi, kegiatan mengajar juga diharapkan mampu memperluas wawasan pengetahuan, meningkatkan keterampilan, dan menumbuhkan sejumlah sikap positif yang direfleksikan peserta didik melalui cara berpikir dan cara bertindak atau berperilaku sebagai dampak hasil belajamya. Oleh karena itu cara guru mengajar perlu diubah. Ditinjau dari esensi proses pembelajarannya, perlu adanya pengubahan paradigma "mengajar" (teaching) menjadi "membelajarkan" (learning how to learn) sehingga proses belajarnya cenderung dinamis dan bersifat praktis dan analitis dalam dua dimensi yaitu: pengembangan proses eksplorasi dan proses kreativitas. Proses eksplorasi menjadi titik pijak untuk menggali pengalaman dan penghayatan khas peserta didik, bukan dari pihak luar, bukan dari apa yang dimaui orang tua, guru, maupun masyarakat bahkan pemerintah sekalipun. Dari proses tersebut dikembangkan prakarsa untuk bereksperimen-kreatif, berimajinasi-kreatif dengan metode belajar yang memungkinkan peserta didik untuk melatih inisiatif berpikir, mentradisikan aktivitas kreatif, mengembangkan
  12. kemerdekaan berpikir, mengeluarkan ide, menumbuhkan kenikmatan bekerjasama, memecahkan masalah-masalah hidup dan kehidupan nyata. Karena itu, dalam proses pembelajaran seharusnya tampak dalam bentuk kegiatan prakarsa bebas (independent study), komunikasi dialogis antar peserta didik maupun antara peserta didik dan guru, spontanitas kreatif, yang kadang-kadang terkesan kurang tertib menurut pandangan pendidikan. Guru perlu menyediakan beragam kegiatan pembelajaran yang berimplikasi pada beragamnya pengalaman belajar supaya peserta didik mampu mengembangkan kompetensi setelah menerapkan pemahamannya pengetahuannya. Untuk itu strategi belajar aktif melalui multi ragam metode sangat sesuai untuk digunakan ketika akan menerapkan KTSP. Dalam pendidikan perlunya melakukan perubahan/ pergeseran paradigma dari paradigma mengajar ke paradigma belajar. Lebih lanjut harus memerinci karakteristik paradigma belajar, yaitu: • peserta didik aktif guru aktif, • pengetahuan dikonstruksi, • menekankan proses dan produk, • pembelajaran luwes dan menyenangkan, • sinergi pikiran dan tubuh, • berorientasi pada peserta didik, • asesmen bersifat realistik, dan • kemampuan sebagai suatu penguasaan hubungan antar pengetahuan yang tersusun dalam suatu jaringan. Untuk itu dituntut komitmen guru untuk berubah, bersikap sabar, bersikap positif, ramah dan memiliki kompetensi tinggi. Bentuk-bentuk penilaian yang dapat digunakan oleh guru tidak hanya berupa penilaian "tradisional" yaitu hanya melakukan kegiatan ulangan harian tetapi perlu dikembangkan penilaian "alternatif", antara lain adalah portofolio, tugas kelompok, demonstrasi, dan laporan tertulis.  Portofolio; merupakan kumpulan tugas yang dikerjakan peserta didik dalam konteks belajar dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik diharapkan untuk mengerjakan tugas tersebut supaya lebih kreatif. Mereka memperoleh kebebasan dalam belajar sekaligus memperoleh kesempatan luas untuk berkembang serta merekapun termotivasi.
  13. Penilaian ini tidak perlu mendapatkan penilaian angka, melainkan melihat pada proses peserta didik sebagai pembelajaran aktif. Sebagai contoh, peserta didik diminta untuk melakukan survei mengenai jenis- jenis pekerjaan di lingkungan rumahnya.  Tugas kelompok, dalam pembelajaran kontekstual berbentuk pengerjaan proyek. Kegiatan ini merupakan cara untuk mencapai tujuan akademik sambil mengakomodasi perbedaan gaya belajar, minat, serta bakat dari masing-masing peserta didik. Isi dari proyek akademik terkait dengan konteks kehidupan nyata, oleh karena itu tugas ini dapat meningkatkan partisipasi peserta didik. Sebagai contoh, peserta didik diminta membentuk kelompok projek untuk menyelidiki penyebab pencemaran sungai di lingkungan peserta didik.  Demonstrasi, peserta didik diminta menampilkan hasil penugasan kepada orang lain mengenai kompetensi yang telah mereka kuasai. Demonstrasi ini dapat dilakukan di kelas atau di luar kelas. Di dalam kelas antara lain dapat dilakukan dalam kegiatan laboratorium IPA, di lapangan olahraga untuk pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olahraga. Di luar kelas antara lain peserta didik diminta membentuk kelompok untuk membuat naskah drama dan mementaskannya dalam pertunjukan, para penonton dapat memberikan evaluasi pertunjukan peserta didik.
  14. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Guru adalah komponen pokok dalam sistem pendidikan. Oleh sebab itu suksesnya pelaksanaan KTSP sangat tergantung pada sikap guru dalam mengajar. Kurikulum yang selama ini dibuat dari pusat menyebabkan kreativitas guru kurang terpupuk, tetapi dengan KTSP, kreativitas guru bisa berkembang. Menggunakan paradigma lama dalam mengajar untuk menghadapi tantangan baru dan situasi baru jelas kurang efektif. Agar kualitas pendidikan kita meningkat, guru perlu melakukan introspeksi dan mau mengubah paradigma mengajar, cara berpikir serta mempraktekkan pembelajaran dengan menggunakan paradigma belajar. Guru sebagai ujung tombak pembelajaran sudah sekian lama menggunakan metode lama, ia menjadi sumber belajar utama. Paradigma mengajar tersebut itu harus diubah dengan menggiatkan peserta didik agar dapat mencapai komepetensinya melalui penguasaan materi ajar. 3.2 Saran Bagi para pendidik yang namanya KTSP itu haruslah dibuat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dinamis dan efektif. Agar mutu pendidikan dan mutu guru lebih optimal dan guru bisa mengerti tentang seluk beluk KTSP.Sehingga terjadi pemahaman yang lebih terhadap yang namanya KTSP dan bisa mencapai tujuan yang diharapkan oleh peserta didik dan tuntutan masyarakat.

Rabu, 21 Desember 2011


Sekolah Aneh, Guru Lebih Banyak dari Murid

Aneh tapi nyata. Jika sekolah lain kekurangan guru, maka berbeda halnya dengan SMPN 5 SATAP Uma Buntar.
Sekolah ini justru memiliki guru lebih banyak dibanding siswanya.
Konidisi ironi ini diadukan warga Uma Buntar,  Zulkarnaen pada Komisi IV DPRD Kabupaten Sumbawa .
“SMPN 5 SATAP memiliki guru sebanyak 25 orang, sementara siswanya hanya 19 orang,” ungkap Zulkarnaen.
Bahkan untuk membayar insentif Guru Tidak Tetap (GTT) 100 ribu setiap bulan,  Kepala Sekolah setempat menggunakan dana BOS.
Zulkarnaen menambahkan, sekolah itu tidak memiliki rencana kerja termasuk perbaikan komponen dan juga rencana kerja tahunan yang menjadi dasar pengelolaan sekolah.
Dalam membuat rencana kegiatan dan anggaran sekolah RAKS, sebenarnya dana BOS integral dalam RAKS sesuai permen Diknas 37 tahun 2010.
Di samping itu, ada beberapa mata pelajaran seperti bahasa inggris diajarkan oleh dua orang guru. Sehingga guru mata pelajaran kesulitan mengukur standar penyampaian antara masing-masing guru.
Parahnya lagi, papar Zulkarnaen, oknum kepala sekolah setempat juga jarang hadir di sekolah lantaran sibuk mengurus busnya.
Kebijakan unik lainnya yang dilakukan kepala sekolah, ungkap Zulkarnaen,  yakni saat pembagian raport.
Penyerahan nilai siswa oleh guru, bersamaan dengan pembagian raport.
Menanggapi laporan warga, Kabid Dikdas Diknas Sumbawa, A Rahman, SPd menyatakan, pihaknya bersama tim akan turun ke lokasi guna meminta keterangan dari pihak terkait.
Rahman menjelaskan, jumlah guru yang wajib dimiliki SMP SATAP maksimal 6 orang dan seandainya kurang dapat diambil dari guru SD SATAP.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPRD Sumbawa, Sambirang Ahmadi mengungkapkan, kejadian seperti ini banyak terjadi di Sumbawa khususnya di daerah terisolir.
Untuk itu masyarakat diminta untuk berperan aktif mengontrol setiap masalah yang ada, seperti penggunaan dana BOS, tenaga pendidik dan lainnya.

Kamis, 15 Desember 2011



“Pada awal berita PHK akan di sampaikan saya benar benar cemas,maklum sebagai pegawai administrasi bagaimana saya punya koneksi..saya berharap saya tidak ikut dalam daftar PHK…”
“Namun sia sia harapan saya tidak terwujud dan ketakutan saya terbukti …saya dipecat.Dengan pesangon yang tidak cukup banyak saya berada dalam kondisi cemas malu bingung bercampur menjadi satu.Punya niatan berwira usaha ..namun teman teman sesame PHK mengatakan kalau tidak punya pengalaman wira swasta bisa bangkrut.Tambah ciut nyali saya…”
“Keuangan kian menipis karena habis untuk kebutuhan sehari hari .saya sih mencoba kulakan baju anak anak dan baju bayi …lagi lagi saya bingung bagaimana memulai menjualnya….saya coba tawarkan tetangga kiri- kanan …nggak ada yang mau sambil saya merasa mereka melihat dengan mata kasihan..
Bertambah lah persoalan saya saya jadi minder ditambah sekarang dagangan nggak laku…stress ..ya. ..”
“Ditengah kegalauan saya ,saya melihat seekor semut hitam kecil merayap didinding sambil membawa serpihan biscuit yang lebih besar dari tubuh semut.Lantaran nggak ada yang saya kerjakan saya coba perhatikan apa yang dilakukan semut tadi.Seperti semut tadi berkali kali terjatuh …tapi begitu dia terjatuh atau makanan terjatuh dia berusaha mengangkat kembali dengan bersusah payah makanan yang dibawanya. Saya mencatat semut itu jatuh bangun lebih dari 35 X ,setelah yang ke 36 X dia mulai bisa merangkak sampai separuh embok dan bertemu dengan semut lainya .Untuk kemudian digotong bareng hingga semut tadi sudah hilang dibalik dinding.Dari sanalah saya baru sadar bahwa saya harus belajar dari perilaku semut yang membanggakan itu.Saya mencoba baru beberapa kali ..sedangkan semut itu jatuh bagun bersusah payah bangkit lebih dari 36 X…’
“Setelah itu saya bersemangat,mengetuk tiap rumah ,tiap sekolah ,tiap kantor untuk bertemu banyak orang menawarkan dagangan setiap semangat mulai melemah saya mengingat semut tadi…sampai akhirnya saya sukses seperti sekarang ini”.
Intinya kank,menjaga agar impian selalu terlihat didepan mata sehingga saya bersemangat mencapainya.Kedua: Yakin dengan masa depan dan bergembira dalam memperjuangkan keyakinan itu seperti semut itu tetap semangat mengangkat potongan biscuit .ketiga ;Tangguh ,tidak mudah putus asa bila gagal,semut tadi berkali jatuh dari tembok terus bangkit dan mengangkat lagi tanpa menyerah.”sepertinya kalau kita tidak memegang prinsip ini kita kalah sama semut”.

Sabtu, 26 November 2011

I B U Ku ( Memori)
-Wajahmu sudah mulai keriput
-Rambutmu sudah hampir memutih semua
-Namun tatapan matamu begitu tajam
-Seakan engkau tahu apa yang sedang kupikirkan padamu

-Ibu mengapa engkau begitu cepat tinggalkan aku
-Seakan kutak sanggup tuk hadapi apa yang akan terjadi
-Hanya engkau yang tahu akan arti hidup yang sebenarnya
-Dapatkah kau kembali dalam hidupku.....

-Ibu ijinkan aku rindu padamu
-Walau hanya dalam mimpi-mimpi
-Hanya mimpilah yang dapat kuinginkan
-Karena semua itu tak mungkin terjadi

-Ibu mengapa semua itu terjadi
-Belum sempat ku bahagiakanmu
-Kau cepat tinggalkan aku
-Mengapa maengapa ibu....

-Ibu hanya doa yang dapat kupanjatkan
-Agar engkau bahagia disurga sana
-Tapi semua itu harus terjadi
-Karena itu takdir yang kuasa

Oleh : Adi Ngadiman,S.Pd,MM (Malam 1 Suro 2011)
Putramu yang merindukan kehidiranmu
Walau hanya dalam mimpi

       -

Rabu, 23 November 2011

  Perempuan Zaman Modern (Tak Selemah Dulu)




Oleh : Adi Ngadiman,S.Pd,MM.
PERNYATAAN itu barangkali sering mengusik benak kaum perempuan. Sepanjang sejarah memang tidak banyak perempuan yang menjadi pemikir, pemimpin, kaum ulama, sufi, pahlawan, pemuka, dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, secara sepintas akan terlihat sebagai bukti tentang kelemahan kaum perempuan. Asumsi ini, tampaknya, banyak dipegang baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan.
Tentang perbedaan laki-laki dan perempuan memang sering sekali menjadi perdebatan yang hangat dan tak pernah usai. Sebagian ada yang mati-matian menyamakan dan menyejajarkan antara keduanya. Sebagian lagi ada yang secara tegas membedakan dalam berbagai hal, dan menganggapnya sebagai kodrat atau takdir. Manakah yang benar? Tentu saja keduanya harus dipandang secara proporsional mana yang berbeda dan memiliki kesamaan.
Kesalahan dalam memersepsikan persamaan dan perbedaan laki-laki dan perampuan bisa berakibat fatal. Propaganda yang gencar mengenai kesamaan laki-laki dan perempuan bisa jadi beban, justru merugikan kaum perempuan itu sendiri. Sedangkan perbedaan yang digeneralisasi dalam semua hal, juga umumnya melemahkan perempuan. Betapa banyak label-label yang dilekatkan pada perempuan yang seolah-olah merupakan kodrat pada umumnya bernada negatif. Selain kurang cerdas dan emosional, perempuan pun seringkali dianggap boros, santai, penakut, cerewet, tidak tegas, senang menggosip, dan lain-lain.
Dua Aliran
Pandangan stereotip terhadap karakteristik (status dan juga peran) perempuan melahirkan dua aliran besar (mainstream). Pertama, teori nature (alam) yang beranggapan bahwa karakter perempuan disebabkan karena faktor biologis dan komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan tersebut menimbulkan aspek psikologis dan intelektual. Bila laki-laki dianggap mempunyai sifat agresif, rasional, independen, percaya diri, pemberani, perempuan sebaliknya. Menurut teori ini, faktor-faktor itu menyebabkan problem kebergantungan. Karena itu, perempuan dianggap sukar maju dan berkembang sehingga kurang memiliki peranan di masyarakat.
Kedua, teori nurture (kebudayaan). Menurut teori ini, faktor yang paling menentukan posisi, peran, dan karakteristik perempuan adalah lingkungan serta budaya. Selama ini, budaya, pola asuh, dan struktur masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap tumbuh kembangnya potensi perempuan. Sehingga, sesungguhnya, anggapan kurang cerdasnya perempuan itu bukan faktor bawaan.
Masih berkaitan dengan masalah di atas, menurut para feminis, terdapat kekeliruan yang mendasar terhadap persoalan perbedaan laki-laki dan perempuan. Ada perbedaan antara faktor yang disebut kodrat dan apa yang sekarang populer disebut gender. Kodrat merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan aspek biologis. Hal yang bersifat biologis ini melekat pada jenis kelamin tertentu, sehingga tidak dapat dipertukarkan. Contohnya perbedaan pada organ reproduksi. Perempuan alat reproduksinya berupa rahim, vagina, dan payudara yang memungkinkan dapat mengandung, melahirkan, juga menyusui. Sedang organ reproduksi laki-laki sangat berbeda. Hal inilah yang dimaksud dengan kodrat, ketentuan dan ciptaan Allah SWT yang tidak dapat berubah, mutlak, dan tanpa kecuali.
Kemudian faktor gender merupakan perbedaan laki-laki dan perempuan yang ditentukan berdasarkan anggapan manusia atau masyarakat karena pola sosial dan budaya. Misalnya laki-laki dianggap kuat, memiliki akal rasional, dan perkasa. Sedangkan perempuan lembut, perasa, dan emosional. Hal-hal semacam ini sebenarnya bukan kodrat atau ciptaan Allah. Tapi, diciptakan dan dibentuk oleh suatu budaya masyarakat. Oleh karenanya, stereotip seperti itu dapat berubah dan dipertukarkan.
Kenyataannya, tidak semua laki-laki lebih cerdas atau pintar daripada perempuan. Sebaliknya, ada juga laki-laki yang emosional dan lemah lembut. Pandangan tentang kehebatan dan kelebihan (superioritas) dan kelebihan akal tidak bersifat mutlak serta bukan sesuatu yang kodrati.
Faktor Agama
Mencermati dua aliran pemikiran tersebut, tampaknya, kita perlu jeli melakukan analisis. Pandangan ekstrem bahwa faktor biologis atau kodratlah yang menentukan sifat perempuan tentu saja salah. Fakta membuktikan bahwa tidak 100% perempuan kurang cerdas, emosional, dan lain-lain. Meski dalam jumlah tidak banyak ada perempuan-perempuan dalam lintasan sejarah yang memiliki keutamaan dan sangat berperan di masyarakat. Bukankah Aisyah, istri Rasulullah SAW, juga seorang yang cerdas? Bukankah sejarah Indonesia sendiri memiliki Tjoet Nyak Dien, pahlawan Aceh terkenal yang pemberani.
Kurangnya perempuan yang ’’berhasil’’ bukan karena tidak berpotensi, tapi kurangnya kesempatan yang diberikan untuk berkembang. Perempuan menjadi tidak cerdas justru karena dianggap bodoh. Ketika masyarakat makin menyadari pentingnya pendidikan dan memberikan kesempatan untuk belajar, banyak perempuan yang mengungguli laki-laki.
Hal ini tentu saja bisa dijadikan tolok ukur. Kalau kian terbukti perempuan bisa jadi pandai tentu saja perempuan pun bisa menjadi seseorang yang tidak terlalu tergantung, emosional, lemah, kurang bisa mengatur waktu, menjaga lidah dan lain-lain. Begitu banyak sifat negatif yang ditimpakan seolah-olah milik perempuan dan dianggap ’’sudah dari sananya’’ yang seolah sulit untuk diubah. Pandangan seperti itulah yang justru mengajari perempuan untuk memiliki karakteristik negatif dan lemah.
Tak ada satu ayat pun dalam Alquran yang mengatakan sifat wanita dan laki-laki merupakan ketentuan atau kodrat. Secara tegas dan eksplisit dinyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi untuk beriman dan bertakwa sebagaimana yang dikatakan dalam surat An Nisa ayat 124 yang berbunyi : ’’Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun’’.
Aliran lain yang mengatakan tidak ada kaitan antara aspek biologis (termasuk organ reproduksi dan komposisi kimiawi) dengan aspek kejiwaan (psikologis) laki-laki dan perempuan tentu saja perlu dipertanyakan juga. Bukankah dengan proses reproduksi seperti hamil, melahirkan, menyusui, membuat perempuan cenderung lebih peka, penyayang, lembut, dan lain-lain. Meskipun, dalam kasus khusus ada juga kelembutan laki-laki melebihi perempuan. Sifat yang umumnya dianggap dominasi wanita tak selamanya buruk, bahkan sangat dibutuhkan dalam rumah tangganya baik untuk membesarkan anak-anaknya maupun dalam mendampingi suami.
Pola Asuh
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dengar ketika seorang anak laki-laki menangis orang tua akan mengatakan, ’’Masak, anak laki-laki cengeng. Seperti anak perempuan saja!’’ Hal ini menunjukkan masyarakat umumnya mendidik anak laki-laki untuk kuat, berani, mandiri, dan tidak cengeng. Namun, memaklumi bahkan cenderung membiarkan anak perempuan untuk bersikap lemah. Hal tersebut, tidak saja untuk yang berkaitan dengan masalah emosional. Tapi juga dalam hal fisik. Ketika anak perempuan aktif, berlari-lari, dan memanjat, umumnya orang tua melarang bersikap demikian. Padahal, itu baik untuk latihan fisiknya.
Selama ini, paham ini terus tersosialisasi secara mantap yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan menganggap lalu meyakini karakteristik perempuan adalah kodrat. Sebagai sesuatu yang diterima dan tidak dapat dirasakan sebagai sesuatu yang salah.
Kaum perempuan harus mau mengubah diri karena hanya diri kita sendirilah yang bisa mengubah. Barangkali tak mudah mengubah persepsi yang sudah dianggap menjadi keyakinan bersama, namun secara perlahan kita bisa mencoba.
Oleh karena itu, yang paling berperan untuk mendobrak semua ini adalah keluarga. Sebab, keluargalah yang akan paling berpengaruh. Orang tua harus yakin sifat laki-laki dan perempuan bukan sesuatu yang mutlak yang merupakan bawaan. Orang tua harus mendidik tidak cengeng, kuat, berani, mandiri, tegas, dan tidak saja pada anak laki-laki. Tapi juga kepada anak perempuan. Dengan demikian, berbagai pandangan negatif tentang sifat wanita dapat dihilangkan.


Ketika Rel Itu Berbelok 

 Oleh ; Adi Ngadiman,S.Pd,MM.




SETIAP tahun, bangsa Indonesia dengan bangga memeringati Hari Sumpah Pemuda. Tahun ini merupakan ke-83 peringatan peristiwa monumental yang terjadi pada 28 Oktober 1928.
Sayangnya, sekarang peringatan itu hanya sebatas acara seremonial belaka. Sumpah tersebut hanya terkesan formalitas tanpa upaya menyelami esensi nyata momentum itu. Ironisnya ikrar mulia ini makin hari kian melenceng dari tujuan awal.
Satu contoh nyata yang bisa diambil adalah masalah otonomi daerah yang kini cenderung menimbulkan konflik, bahkan mengarah disintegrasi. Padahal, Sumpah Pemuda adalah upaya melahirkan identitas nasional Indonesia yang berpijak pada keanekaragaman suku bangsa ini. Namun, hal ini malah kontradiktif. Kecenderungan otonomi daerah kini justru membuat kesatuan bangsa
mulai terkotak-kotak karena masing-masing pihak berupaya menonjolkan primordialisme suku bangsa. Memang ini risiko perubahan politik yang kini menekankan aliran aspirasi bawah ke atas.
Sejumlah daerah terlalu bernafsu untuk memecahkan diri dari induk kabupaten maupun provinsi. Bila niat itu benar-benar untuk kepentingan pelayanan rakyat dapat dipahami, yang terjadi keinginan itu adalah nafsu para elite daerah ingin mendapat kekuasaan.
Jika gejala ini terus dibiarkan, dikhawatirkan yang terjadi justru kerusakan. Sebab, beberapa di antara daerah yang ingin mandiri itu terjadi konflik antarkelompok rakyat. Apalagi, beberapa pemerintah daerah baru terbukti belum dapat mandiri sepenuhnya karena masih sangat bergantung kepada pemerintah pusat terutama dalam hal anggaran.
Tengok pula dalam hal penggunaan bahasa persatuan. Bahasa Indonesia makin tergerus dengan penggunaan bahasa pergaulan. Mulai dari bahasa agan hingga bahasa kaum transgender.
Karena itu, sekarang waktu yang tepat untuk merajut kembali ikatan yang sudah sedemikian longgar. Caranya mengedepankan kepentingan nasional dan kembali memaknai esensi dasar nilai-nilai Sumpah Pemuda. Yang tidak kalah penting kita juga harus mampu mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah melenceng dari spirit dasar nasionalisme. (*)

Jurnalistik dan Pendidikan Karakter

Oleh Dwi Rohmadi Mustofa (Mahasiswa Program Pascasarjana FKIP Unila, Pernah Menjadi Jurnalis)
Sebagian perilaku pelajar yang tampak, dinilai semakin menjauh dari nilai-nilai dan budaya bangsa. Degradasi moral terwujud dalam aksi kekerasan, tawuran, pornografi, dan merosotnya etika. Kasus-kasus semacam ini masih terjadi dan bukan monopoli pelajar di perkotaan. Beberapa waktu terakhir, kasus video mesum dan tindakan asusila bahkan terjadi di sekolah yang tergolong daerah pinggiran.
ADA keprihatinan, kegelisahan, dan gugatan. Ada anggapan pendidikan cenderung hanya menekankan kepada aspek kecerdasan dan mengabaikan aspek lainnya. Institusi sekolah menjadi ujung tombak untuk menangkal perilaku negatif, bahkan hakikatnya untuk membentuk sifat-sifat positif dalam diri siswa.
Kini muncul tuntutan yang menekankan pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Istilah yang dikenal sekarang adalah pendidikan karakter bangsa. Implementasinya melalui pendidikan per sekolah. Ia tidak merupakan materi pelajaran tersendiri, karena merupakan pendidikan nilai yang bersifat pengembangan. Jadi memerlukan waktu yang cukup panjang untuk melihat hasilnya.
Pendidikan karakter melekat pada semua pelajaran dan tindakan pendidikan. Model pendidikan karakter berbeda dengan mata pelajaran. Ia menjadi bagian dari seluruh proses pembelajaran.
Salah satu persyaratan untuk keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter adalah keterampilan guru dan pendidik serta adanya minat dan kemauan dari peserta didik.
Dahulu di sekolah ada pendidikan moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dan sebagainya yang intinya dimaksudkan membentuk sikap peserta didik sejalan dengan nilai serta budaya bangsa. Akhirnya, diakui menjadikan pendidikan nilai dan moral sebagai mata pelajaran justru terjebak ke ranah kognitif semata-mata. Bukan pada pembentukan sikap dan perilaku peserta didik.
Di antara banyak model dan pendekatan pembelajaran, jurnalistik dapat menjadi pilihan untuk memasukkan nilai-nilai karakter bangsa. Berbagai unsur pendidikan dan pembelajaran dalam jurnalistik menjadi salah satu pilihan dalam pendidikan karakter bangsa.
Memang ada banyak gagasan terkait bagaimana pendidikan moral, budi pekerti, dan etika diterapkan di sekolah. Mulai dari menghidupkan kembali pendidikan moral Pancasila, rekonstruksi pendidikan sejarah perjuangan bangsa, penambahan jumlah jam dan metodologi pembelajaran agama, menghidupkan lagi kegiatan Pramuka sebagai kegiatan wajib, sampai usulan penambahan mata pelajaran baru yang bermuatan tentang moral dan etika, dan sebagainya. Tetapi pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan pendidikan karakter bangsa pada semua sekolah dengan memberikan dukungan pembinaan.
Secara konseptual, pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Inilah suatu tujuan besar pendidikan.
Pendidikan menekankan pada pembentukan manusia seutuhnya yang mampu mengantisipasi berbagai tantangan di masa datang. Manusia yang berbudaya adalah yang memiliki cita rasa seni, keseimbangan diri dalam hal emosional. Produk pendidikan diharapkan memiliki keseimbangan antara kecerdasan, keterampilan, dan berbudi pekerti luhur. 
Salah satu pintu masuk untuk menanamkan karakter bangsa adalah melalui pendidikan jurnalistik. Ini dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler maupun integratif dalam pelajaran bahasa. Ekstrakurikuler adalah sarana untuk memberikan tambahan pengetahuan dan keterampilan bagi siswa di mata pelajaran wajib kurikuler. Ia membekali siswa berbagai keterampilan yang di antaranya adalah keterampilan lunak.
Di sinilah pentingnya menyelenggarakan kegiatan yang mampu menggugah jiwa dan semangat pantang menyerah, membangun daya juang, namun tetap menarik minat siswa dan bahkan menjadi ajang menggali dan mengembangkan potensi yang selama ini dimiliki siswa. Jurnalistik dapat menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler, di samping yang telah ada selama ini. Siswa juga menjadi memiliki pilihan untuk mengembangkan potensi dirinya.
Di beberapa sekolah, telah ada kegiatan majalah dinding, bahkan SMA telah ada radio penyiaran. Survei sederhana menunjukkan bahwa animo siswa untuk mengikuti kegiatan jurnalistik ini cukup tinggi. Ada rasa keingintahuan yang membuncah di kalangan siswa, tentang profesi jurnalis: bagaimana membuat berita, bagaimana menerbitkan koran, bagaimana mendirikan radio, bagaimana membuat program acara televisi yang bermanfaat.
Profesi jurnalis dilihat sebagai profesi yang memiliki prestise, mulia, menjanjikan, dan menarik untuk dilakoni. Di mata siswa, jurnalistik adalah kegiatan penuh tantangan dan menyenangkan. Hal ini dapat memacu mereka untuk berkreasi dan mewujudkan karya jurnalistik.
Hanya memang, di sebagian siswa ataupun sekolah, terdapat keterbatasan-keterbatasan, baik pengetahuan maupun sarana dan prasarana. Permasalahan ini perlu dijembatani atau dilakukan langkah terobosan. Perlu penambahan sumber daya baik fisik maupun sumber daya manusianya. Bisa juga dilakukan kolaborasi dengan institusi atau pihak-pihak lain.
Nilai-nilai jurnalistik bagi siswa selain memberikan bekal keterampilan mengumpulkan informasi, menyusun dan mengelola, sampai menyebarluaskan informasi, juga menanamkan sikap kejujuran, mengungkapkan kebenaran, komunikasi dan interaksi sosial, kesopanan, serta kerja sama dalam tim.
Melalui kegiatan jurnalistik dapat ditanamkan semangat juang pantang menyerah, kreativitas dan inovasi, kesetaraan, serta pluralitas. Semangat kewirausahaan juga terwadahi melalui bagaimana siswa ’’memasarkan’’ ide atau pendapatnya. Siswa juga dibelajarkan bagaimana menghargai karya orang lain dan bagaimana etika dalam menulis.
Siswa juga dibelajarkan bagaimana memfilter informasi yang bermanfaat dan mana saja informasi yang bersifat sampah. Di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan banjir informasi, anak-anak rentang menerima informasi yang tidak bermanfaat.
Jurnalistik di sekolah dapat membangkitkan kebanggaan yang menjadi modal untuk terus berprestasi. Karya tulis siswa yang dipajang di majalah dinding dapat menumbuhsuburkan rasa percaya diri serta mendorong untuk terus berkarya lebih baik lagi. Siswa lainnya juga dapat mengambil pelajaran dari mereka yang berkarya.
Secara konseptual, hasil belajar akan lebih bermakna dengan adanya penguatan atau unsur reward baik dari pendidik maupun dari lingkungan. Contohnya, karya tulis siswa yang dipajang di majalah dinding, atau karya puisi yang dibacakan di depan khalayak, atau karya tulis lainnya yang dijadikan bahan diskusi oleh kelompoknya, dan sebagainya, menjadi ’’pemicu dan pemacu’’ kreativitas siswa.
Kemampuan menulis juga dapat dipandang sebagai salah satu gerbang untuk belajar banyak hal; menyampaikan gagasan, keberanian berpendapat, dan kebebasan berekspresi yang harus dilandaskan pada sikap tanggung jawab. Sedangkan kemampuan menulis harus dibarengi dengan kegiatan membaca, yang juga merupakan pintu bagi belajar apa pun.
Secara teknis, dunia penulisan dan jurnalistik memiliki aturan-aturan dan mekanisme sendiri. Inilah yang perlu dikenalkan atau ditanamkan kepada para siswa. Jelas bahwa nilai-nilai jurnalistik dapat mendorong tumbuhnya bibit-bibit kreatif di sekolah yang memiliki semangat wirausaha.
Dunia penulisan adalah dunia kreatif. Suatu tren masa kini yang sangat menghargai kreativitas. Karya tulis yang dihasilkan jurnalis adalah produk kreativitas. Pilihan menjadi jurnalis berarti kesediaan dan kesiapan diri untuk memasuki dunia kreatif.
Minat menjadi jurnalis di kalangan generasi muda seiring dengan kian berkembangnya industri media massa. Gerakan reformasi di akhir 1990-an telah mendorong terwujudnya kebebasan mengemukakan pendapat yang dibarengi dengan tumbuhnya industri media massa, baik cetak maupun elektronik. Akhirnya, profesi jurnalistik cukup menjanjikan sebagai salah satu pilihan generasi muda di masa datang. Dunia penerbitan dan penyiaran juga membutuhkan kader-kader profesional yang diawali dari pendidikan di bangku sekolah. (*)