Sabtu, 26 November 2011

I B U Ku ( Memori)
-Wajahmu sudah mulai keriput
-Rambutmu sudah hampir memutih semua
-Namun tatapan matamu begitu tajam
-Seakan engkau tahu apa yang sedang kupikirkan padamu

-Ibu mengapa engkau begitu cepat tinggalkan aku
-Seakan kutak sanggup tuk hadapi apa yang akan terjadi
-Hanya engkau yang tahu akan arti hidup yang sebenarnya
-Dapatkah kau kembali dalam hidupku.....

-Ibu ijinkan aku rindu padamu
-Walau hanya dalam mimpi-mimpi
-Hanya mimpilah yang dapat kuinginkan
-Karena semua itu tak mungkin terjadi

-Ibu mengapa semua itu terjadi
-Belum sempat ku bahagiakanmu
-Kau cepat tinggalkan aku
-Mengapa maengapa ibu....

-Ibu hanya doa yang dapat kupanjatkan
-Agar engkau bahagia disurga sana
-Tapi semua itu harus terjadi
-Karena itu takdir yang kuasa

Oleh : Adi Ngadiman,S.Pd,MM (Malam 1 Suro 2011)
Putramu yang merindukan kehidiranmu
Walau hanya dalam mimpi

       -

Rabu, 23 November 2011

  Perempuan Zaman Modern (Tak Selemah Dulu)




Oleh : Adi Ngadiman,S.Pd,MM.
PERNYATAAN itu barangkali sering mengusik benak kaum perempuan. Sepanjang sejarah memang tidak banyak perempuan yang menjadi pemikir, pemimpin, kaum ulama, sufi, pahlawan, pemuka, dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, secara sepintas akan terlihat sebagai bukti tentang kelemahan kaum perempuan. Asumsi ini, tampaknya, banyak dipegang baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan.
Tentang perbedaan laki-laki dan perempuan memang sering sekali menjadi perdebatan yang hangat dan tak pernah usai. Sebagian ada yang mati-matian menyamakan dan menyejajarkan antara keduanya. Sebagian lagi ada yang secara tegas membedakan dalam berbagai hal, dan menganggapnya sebagai kodrat atau takdir. Manakah yang benar? Tentu saja keduanya harus dipandang secara proporsional mana yang berbeda dan memiliki kesamaan.
Kesalahan dalam memersepsikan persamaan dan perbedaan laki-laki dan perampuan bisa berakibat fatal. Propaganda yang gencar mengenai kesamaan laki-laki dan perempuan bisa jadi beban, justru merugikan kaum perempuan itu sendiri. Sedangkan perbedaan yang digeneralisasi dalam semua hal, juga umumnya melemahkan perempuan. Betapa banyak label-label yang dilekatkan pada perempuan yang seolah-olah merupakan kodrat pada umumnya bernada negatif. Selain kurang cerdas dan emosional, perempuan pun seringkali dianggap boros, santai, penakut, cerewet, tidak tegas, senang menggosip, dan lain-lain.
Dua Aliran
Pandangan stereotip terhadap karakteristik (status dan juga peran) perempuan melahirkan dua aliran besar (mainstream). Pertama, teori nature (alam) yang beranggapan bahwa karakter perempuan disebabkan karena faktor biologis dan komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan tersebut menimbulkan aspek psikologis dan intelektual. Bila laki-laki dianggap mempunyai sifat agresif, rasional, independen, percaya diri, pemberani, perempuan sebaliknya. Menurut teori ini, faktor-faktor itu menyebabkan problem kebergantungan. Karena itu, perempuan dianggap sukar maju dan berkembang sehingga kurang memiliki peranan di masyarakat.
Kedua, teori nurture (kebudayaan). Menurut teori ini, faktor yang paling menentukan posisi, peran, dan karakteristik perempuan adalah lingkungan serta budaya. Selama ini, budaya, pola asuh, dan struktur masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap tumbuh kembangnya potensi perempuan. Sehingga, sesungguhnya, anggapan kurang cerdasnya perempuan itu bukan faktor bawaan.
Masih berkaitan dengan masalah di atas, menurut para feminis, terdapat kekeliruan yang mendasar terhadap persoalan perbedaan laki-laki dan perempuan. Ada perbedaan antara faktor yang disebut kodrat dan apa yang sekarang populer disebut gender. Kodrat merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan aspek biologis. Hal yang bersifat biologis ini melekat pada jenis kelamin tertentu, sehingga tidak dapat dipertukarkan. Contohnya perbedaan pada organ reproduksi. Perempuan alat reproduksinya berupa rahim, vagina, dan payudara yang memungkinkan dapat mengandung, melahirkan, juga menyusui. Sedang organ reproduksi laki-laki sangat berbeda. Hal inilah yang dimaksud dengan kodrat, ketentuan dan ciptaan Allah SWT yang tidak dapat berubah, mutlak, dan tanpa kecuali.
Kemudian faktor gender merupakan perbedaan laki-laki dan perempuan yang ditentukan berdasarkan anggapan manusia atau masyarakat karena pola sosial dan budaya. Misalnya laki-laki dianggap kuat, memiliki akal rasional, dan perkasa. Sedangkan perempuan lembut, perasa, dan emosional. Hal-hal semacam ini sebenarnya bukan kodrat atau ciptaan Allah. Tapi, diciptakan dan dibentuk oleh suatu budaya masyarakat. Oleh karenanya, stereotip seperti itu dapat berubah dan dipertukarkan.
Kenyataannya, tidak semua laki-laki lebih cerdas atau pintar daripada perempuan. Sebaliknya, ada juga laki-laki yang emosional dan lemah lembut. Pandangan tentang kehebatan dan kelebihan (superioritas) dan kelebihan akal tidak bersifat mutlak serta bukan sesuatu yang kodrati.
Faktor Agama
Mencermati dua aliran pemikiran tersebut, tampaknya, kita perlu jeli melakukan analisis. Pandangan ekstrem bahwa faktor biologis atau kodratlah yang menentukan sifat perempuan tentu saja salah. Fakta membuktikan bahwa tidak 100% perempuan kurang cerdas, emosional, dan lain-lain. Meski dalam jumlah tidak banyak ada perempuan-perempuan dalam lintasan sejarah yang memiliki keutamaan dan sangat berperan di masyarakat. Bukankah Aisyah, istri Rasulullah SAW, juga seorang yang cerdas? Bukankah sejarah Indonesia sendiri memiliki Tjoet Nyak Dien, pahlawan Aceh terkenal yang pemberani.
Kurangnya perempuan yang ’’berhasil’’ bukan karena tidak berpotensi, tapi kurangnya kesempatan yang diberikan untuk berkembang. Perempuan menjadi tidak cerdas justru karena dianggap bodoh. Ketika masyarakat makin menyadari pentingnya pendidikan dan memberikan kesempatan untuk belajar, banyak perempuan yang mengungguli laki-laki.
Hal ini tentu saja bisa dijadikan tolok ukur. Kalau kian terbukti perempuan bisa jadi pandai tentu saja perempuan pun bisa menjadi seseorang yang tidak terlalu tergantung, emosional, lemah, kurang bisa mengatur waktu, menjaga lidah dan lain-lain. Begitu banyak sifat negatif yang ditimpakan seolah-olah milik perempuan dan dianggap ’’sudah dari sananya’’ yang seolah sulit untuk diubah. Pandangan seperti itulah yang justru mengajari perempuan untuk memiliki karakteristik negatif dan lemah.
Tak ada satu ayat pun dalam Alquran yang mengatakan sifat wanita dan laki-laki merupakan ketentuan atau kodrat. Secara tegas dan eksplisit dinyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi untuk beriman dan bertakwa sebagaimana yang dikatakan dalam surat An Nisa ayat 124 yang berbunyi : ’’Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun’’.
Aliran lain yang mengatakan tidak ada kaitan antara aspek biologis (termasuk organ reproduksi dan komposisi kimiawi) dengan aspek kejiwaan (psikologis) laki-laki dan perempuan tentu saja perlu dipertanyakan juga. Bukankah dengan proses reproduksi seperti hamil, melahirkan, menyusui, membuat perempuan cenderung lebih peka, penyayang, lembut, dan lain-lain. Meskipun, dalam kasus khusus ada juga kelembutan laki-laki melebihi perempuan. Sifat yang umumnya dianggap dominasi wanita tak selamanya buruk, bahkan sangat dibutuhkan dalam rumah tangganya baik untuk membesarkan anak-anaknya maupun dalam mendampingi suami.
Pola Asuh
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dengar ketika seorang anak laki-laki menangis orang tua akan mengatakan, ’’Masak, anak laki-laki cengeng. Seperti anak perempuan saja!’’ Hal ini menunjukkan masyarakat umumnya mendidik anak laki-laki untuk kuat, berani, mandiri, dan tidak cengeng. Namun, memaklumi bahkan cenderung membiarkan anak perempuan untuk bersikap lemah. Hal tersebut, tidak saja untuk yang berkaitan dengan masalah emosional. Tapi juga dalam hal fisik. Ketika anak perempuan aktif, berlari-lari, dan memanjat, umumnya orang tua melarang bersikap demikian. Padahal, itu baik untuk latihan fisiknya.
Selama ini, paham ini terus tersosialisasi secara mantap yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan menganggap lalu meyakini karakteristik perempuan adalah kodrat. Sebagai sesuatu yang diterima dan tidak dapat dirasakan sebagai sesuatu yang salah.
Kaum perempuan harus mau mengubah diri karena hanya diri kita sendirilah yang bisa mengubah. Barangkali tak mudah mengubah persepsi yang sudah dianggap menjadi keyakinan bersama, namun secara perlahan kita bisa mencoba.
Oleh karena itu, yang paling berperan untuk mendobrak semua ini adalah keluarga. Sebab, keluargalah yang akan paling berpengaruh. Orang tua harus yakin sifat laki-laki dan perempuan bukan sesuatu yang mutlak yang merupakan bawaan. Orang tua harus mendidik tidak cengeng, kuat, berani, mandiri, tegas, dan tidak saja pada anak laki-laki. Tapi juga kepada anak perempuan. Dengan demikian, berbagai pandangan negatif tentang sifat wanita dapat dihilangkan.


Ketika Rel Itu Berbelok 

 Oleh ; Adi Ngadiman,S.Pd,MM.




SETIAP tahun, bangsa Indonesia dengan bangga memeringati Hari Sumpah Pemuda. Tahun ini merupakan ke-83 peringatan peristiwa monumental yang terjadi pada 28 Oktober 1928.
Sayangnya, sekarang peringatan itu hanya sebatas acara seremonial belaka. Sumpah tersebut hanya terkesan formalitas tanpa upaya menyelami esensi nyata momentum itu. Ironisnya ikrar mulia ini makin hari kian melenceng dari tujuan awal.
Satu contoh nyata yang bisa diambil adalah masalah otonomi daerah yang kini cenderung menimbulkan konflik, bahkan mengarah disintegrasi. Padahal, Sumpah Pemuda adalah upaya melahirkan identitas nasional Indonesia yang berpijak pada keanekaragaman suku bangsa ini. Namun, hal ini malah kontradiktif. Kecenderungan otonomi daerah kini justru membuat kesatuan bangsa
mulai terkotak-kotak karena masing-masing pihak berupaya menonjolkan primordialisme suku bangsa. Memang ini risiko perubahan politik yang kini menekankan aliran aspirasi bawah ke atas.
Sejumlah daerah terlalu bernafsu untuk memecahkan diri dari induk kabupaten maupun provinsi. Bila niat itu benar-benar untuk kepentingan pelayanan rakyat dapat dipahami, yang terjadi keinginan itu adalah nafsu para elite daerah ingin mendapat kekuasaan.
Jika gejala ini terus dibiarkan, dikhawatirkan yang terjadi justru kerusakan. Sebab, beberapa di antara daerah yang ingin mandiri itu terjadi konflik antarkelompok rakyat. Apalagi, beberapa pemerintah daerah baru terbukti belum dapat mandiri sepenuhnya karena masih sangat bergantung kepada pemerintah pusat terutama dalam hal anggaran.
Tengok pula dalam hal penggunaan bahasa persatuan. Bahasa Indonesia makin tergerus dengan penggunaan bahasa pergaulan. Mulai dari bahasa agan hingga bahasa kaum transgender.
Karena itu, sekarang waktu yang tepat untuk merajut kembali ikatan yang sudah sedemikian longgar. Caranya mengedepankan kepentingan nasional dan kembali memaknai esensi dasar nilai-nilai Sumpah Pemuda. Yang tidak kalah penting kita juga harus mampu mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara yang telah melenceng dari spirit dasar nasionalisme. (*)

Jurnalistik dan Pendidikan Karakter

Oleh Dwi Rohmadi Mustofa (Mahasiswa Program Pascasarjana FKIP Unila, Pernah Menjadi Jurnalis)
Sebagian perilaku pelajar yang tampak, dinilai semakin menjauh dari nilai-nilai dan budaya bangsa. Degradasi moral terwujud dalam aksi kekerasan, tawuran, pornografi, dan merosotnya etika. Kasus-kasus semacam ini masih terjadi dan bukan monopoli pelajar di perkotaan. Beberapa waktu terakhir, kasus video mesum dan tindakan asusila bahkan terjadi di sekolah yang tergolong daerah pinggiran.
ADA keprihatinan, kegelisahan, dan gugatan. Ada anggapan pendidikan cenderung hanya menekankan kepada aspek kecerdasan dan mengabaikan aspek lainnya. Institusi sekolah menjadi ujung tombak untuk menangkal perilaku negatif, bahkan hakikatnya untuk membentuk sifat-sifat positif dalam diri siswa.
Kini muncul tuntutan yang menekankan pentingnya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Istilah yang dikenal sekarang adalah pendidikan karakter bangsa. Implementasinya melalui pendidikan per sekolah. Ia tidak merupakan materi pelajaran tersendiri, karena merupakan pendidikan nilai yang bersifat pengembangan. Jadi memerlukan waktu yang cukup panjang untuk melihat hasilnya.
Pendidikan karakter melekat pada semua pelajaran dan tindakan pendidikan. Model pendidikan karakter berbeda dengan mata pelajaran. Ia menjadi bagian dari seluruh proses pembelajaran.
Salah satu persyaratan untuk keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter adalah keterampilan guru dan pendidik serta adanya minat dan kemauan dari peserta didik.
Dahulu di sekolah ada pendidikan moral Pancasila, pendidikan sejarah perjuangan bangsa, dan sebagainya yang intinya dimaksudkan membentuk sikap peserta didik sejalan dengan nilai serta budaya bangsa. Akhirnya, diakui menjadikan pendidikan nilai dan moral sebagai mata pelajaran justru terjebak ke ranah kognitif semata-mata. Bukan pada pembentukan sikap dan perilaku peserta didik.
Di antara banyak model dan pendekatan pembelajaran, jurnalistik dapat menjadi pilihan untuk memasukkan nilai-nilai karakter bangsa. Berbagai unsur pendidikan dan pembelajaran dalam jurnalistik menjadi salah satu pilihan dalam pendidikan karakter bangsa.
Memang ada banyak gagasan terkait bagaimana pendidikan moral, budi pekerti, dan etika diterapkan di sekolah. Mulai dari menghidupkan kembali pendidikan moral Pancasila, rekonstruksi pendidikan sejarah perjuangan bangsa, penambahan jumlah jam dan metodologi pembelajaran agama, menghidupkan lagi kegiatan Pramuka sebagai kegiatan wajib, sampai usulan penambahan mata pelajaran baru yang bermuatan tentang moral dan etika, dan sebagainya. Tetapi pemerintah telah mengambil kebijakan untuk menerapkan pendidikan karakter bangsa pada semua sekolah dengan memberikan dukungan pembinaan.
Secara konseptual, pendidikan bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Inilah suatu tujuan besar pendidikan.
Pendidikan menekankan pada pembentukan manusia seutuhnya yang mampu mengantisipasi berbagai tantangan di masa datang. Manusia yang berbudaya adalah yang memiliki cita rasa seni, keseimbangan diri dalam hal emosional. Produk pendidikan diharapkan memiliki keseimbangan antara kecerdasan, keterampilan, dan berbudi pekerti luhur. 
Salah satu pintu masuk untuk menanamkan karakter bangsa adalah melalui pendidikan jurnalistik. Ini dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler maupun integratif dalam pelajaran bahasa. Ekstrakurikuler adalah sarana untuk memberikan tambahan pengetahuan dan keterampilan bagi siswa di mata pelajaran wajib kurikuler. Ia membekali siswa berbagai keterampilan yang di antaranya adalah keterampilan lunak.
Di sinilah pentingnya menyelenggarakan kegiatan yang mampu menggugah jiwa dan semangat pantang menyerah, membangun daya juang, namun tetap menarik minat siswa dan bahkan menjadi ajang menggali dan mengembangkan potensi yang selama ini dimiliki siswa. Jurnalistik dapat menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler, di samping yang telah ada selama ini. Siswa juga menjadi memiliki pilihan untuk mengembangkan potensi dirinya.
Di beberapa sekolah, telah ada kegiatan majalah dinding, bahkan SMA telah ada radio penyiaran. Survei sederhana menunjukkan bahwa animo siswa untuk mengikuti kegiatan jurnalistik ini cukup tinggi. Ada rasa keingintahuan yang membuncah di kalangan siswa, tentang profesi jurnalis: bagaimana membuat berita, bagaimana menerbitkan koran, bagaimana mendirikan radio, bagaimana membuat program acara televisi yang bermanfaat.
Profesi jurnalis dilihat sebagai profesi yang memiliki prestise, mulia, menjanjikan, dan menarik untuk dilakoni. Di mata siswa, jurnalistik adalah kegiatan penuh tantangan dan menyenangkan. Hal ini dapat memacu mereka untuk berkreasi dan mewujudkan karya jurnalistik.
Hanya memang, di sebagian siswa ataupun sekolah, terdapat keterbatasan-keterbatasan, baik pengetahuan maupun sarana dan prasarana. Permasalahan ini perlu dijembatani atau dilakukan langkah terobosan. Perlu penambahan sumber daya baik fisik maupun sumber daya manusianya. Bisa juga dilakukan kolaborasi dengan institusi atau pihak-pihak lain.
Nilai-nilai jurnalistik bagi siswa selain memberikan bekal keterampilan mengumpulkan informasi, menyusun dan mengelola, sampai menyebarluaskan informasi, juga menanamkan sikap kejujuran, mengungkapkan kebenaran, komunikasi dan interaksi sosial, kesopanan, serta kerja sama dalam tim.
Melalui kegiatan jurnalistik dapat ditanamkan semangat juang pantang menyerah, kreativitas dan inovasi, kesetaraan, serta pluralitas. Semangat kewirausahaan juga terwadahi melalui bagaimana siswa ’’memasarkan’’ ide atau pendapatnya. Siswa juga dibelajarkan bagaimana menghargai karya orang lain dan bagaimana etika dalam menulis.
Siswa juga dibelajarkan bagaimana memfilter informasi yang bermanfaat dan mana saja informasi yang bersifat sampah. Di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan banjir informasi, anak-anak rentang menerima informasi yang tidak bermanfaat.
Jurnalistik di sekolah dapat membangkitkan kebanggaan yang menjadi modal untuk terus berprestasi. Karya tulis siswa yang dipajang di majalah dinding dapat menumbuhsuburkan rasa percaya diri serta mendorong untuk terus berkarya lebih baik lagi. Siswa lainnya juga dapat mengambil pelajaran dari mereka yang berkarya.
Secara konseptual, hasil belajar akan lebih bermakna dengan adanya penguatan atau unsur reward baik dari pendidik maupun dari lingkungan. Contohnya, karya tulis siswa yang dipajang di majalah dinding, atau karya puisi yang dibacakan di depan khalayak, atau karya tulis lainnya yang dijadikan bahan diskusi oleh kelompoknya, dan sebagainya, menjadi ’’pemicu dan pemacu’’ kreativitas siswa.
Kemampuan menulis juga dapat dipandang sebagai salah satu gerbang untuk belajar banyak hal; menyampaikan gagasan, keberanian berpendapat, dan kebebasan berekspresi yang harus dilandaskan pada sikap tanggung jawab. Sedangkan kemampuan menulis harus dibarengi dengan kegiatan membaca, yang juga merupakan pintu bagi belajar apa pun.
Secara teknis, dunia penulisan dan jurnalistik memiliki aturan-aturan dan mekanisme sendiri. Inilah yang perlu dikenalkan atau ditanamkan kepada para siswa. Jelas bahwa nilai-nilai jurnalistik dapat mendorong tumbuhnya bibit-bibit kreatif di sekolah yang memiliki semangat wirausaha.
Dunia penulisan adalah dunia kreatif. Suatu tren masa kini yang sangat menghargai kreativitas. Karya tulis yang dihasilkan jurnalis adalah produk kreativitas. Pilihan menjadi jurnalis berarti kesediaan dan kesiapan diri untuk memasuki dunia kreatif.
Minat menjadi jurnalis di kalangan generasi muda seiring dengan kian berkembangnya industri media massa. Gerakan reformasi di akhir 1990-an telah mendorong terwujudnya kebebasan mengemukakan pendapat yang dibarengi dengan tumbuhnya industri media massa, baik cetak maupun elektronik. Akhirnya, profesi jurnalistik cukup menjanjikan sebagai salah satu pilihan generasi muda di masa datang. Dunia penerbitan dan penyiaran juga membutuhkan kader-kader profesional yang diawali dari pendidikan di bangku sekolah. (*)
Gaji Guru Honorer Distandarisasi


.
   
Senin, 07 November 2011 10:26
JAKARTA - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menstandarisasi gaji guru honorer di sekolah swasta. Aturan tersebut rencananya tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) mengenai tenaga honorer."PP-nya sudah di Sekretariat Negara (Setneg). PP ini mewajibkan daerah membuat Perda sebagai turunannya," ungkap Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP dan PMP) Syahwal Gultom di Jakarta, kemarin (6/11).
Menurut Syahwal, pemerintah tidak pernah membedakan antara guru negeri dan swasta. Profesi pendidik harus dihargai dengan meningkatkan kesejahteraan.
"Guru itu ikut mensejahterakan bangsa. Janganlah menganggap mereka sebagai pekerja biasa. Mereka adalah profesi yang harus dihargai. Mengenai kapan rancangan PP ini disahkan kami di Kemendikbud juga masih menunggu jawabannya," kata Syahwal.
Mantan Rektor Unimed ini mengatakan, nantinya standarisasi gaji ini menjadi salah satu syarat pendidikan sekolah swasta baru. Standarnya direncanakan di atas upah minimum provinsi (UMP).
"Saya sudah merintis standarisasi gaji ini di Medan. Tapi masih berupa himbauan. Kami akan dorong hal ini jadi sebuah peraturan. Sehingga guru-guru honorer di sekolah swasta bisa mendapatkan kesejahteraan yang layak," beber Syahwal.
Ia melanjutkan, jika sudah mendapatkan kesejahteraan, para guru harus mau meningkatkan skill mengajarnya. Jika tidak, pemerintah sulit memberikan penghargaan.
"Persaingan menjadi guru sekarang sangat ketat. Dimana guru honorer juga harus bersaing dengan guru PNS dan juga para guru yang baru lulus," tuturnya.
Kepala Pengembangan Profesi Pendidik BPSDMP dan PMP Kemendikbud Unifah Rosyidi menjelaskan, kendala pemerintah pusat untuk meningkatkan kesejahteraan bagi guru honorer dan swasta adalah adanya otonomi daerah. Pemerintah dapat dengan mudah membuat peraturan namun kewenangan tentang guru contohnya pengangkatan guru baru masih dipegang oleh daerah.
Ketua Forum Honorer Indonesia Nuraini mengatakan, 30 persen dari 600.000 guru honorer kategori 2 yang tidak diangkat oleh pemerintah daerah akan menjadi tenaga kontrak jika pasal pengangkatan dalam PP tidak direvisi. Bagi guru yang gagal akan menjadi tenaga kontrak.
"Kami ini bukan buruh pabrik yang pakai sistem outsourching," tegasnya.
Masalahnya, tenaga kontrak tersebut dikembalikan ke daerah. Tapi, jika kabupaten atau kota tidak mampu membiayainya makan bisa saja dirumahkan.

TPP Guru Honorer Distop

TPP Guru Honorer Distop 



.
Kamis, 24 November 2011 10:09
Bagi Guru Nakal, TPP Dikembalikan ke Negara
Besok (25/11) seluruh guru di Indonesia merayakan Hari Guru yang ke-66. Diperkirakan, tidak ada suka cita dan proses tiup lilin dalam perayaan hari ulang tahun guru ini. Pasalnya, penyaluran tunjanganan profesi pendidik (TPP) bagi guru tidak tetap (GTT) atau guru honorer bakal distop. Selain itu, bagi guru yang terbukti nakal saat proses sertifikasi guru, TPP terancam harus dikembalikan ke kas negara.
Ancaman keras ini tertuang dalam surat edaran yang diteken Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Ainun Na’im. Surat edaran ini juga ditembuskan mulai dari menteri hingga jajaran eselon satu lingkungan kementerian berslogan Tut Wuri Handayani itu.
Ada beberapa poin penting dalam surat edaran bernomor 088209/A.C5/KP/2011 ini. Poin pertama, ditujukan untuk GTT atau guru honorer dimana SK pengangkatannya bukan oleh pejabat yang berwenang, dan gajinya bukan dari APBD atau APBN. Guru honorer yang digaji non APBD atau APBN ini, lazim disebut guru honorer kategori II. Dalam surat edaran tadi, guru honorer kategori II ini tidak bisa disertifikasi.
Ketentuan serupa juga ditujukan untuk GTT atau guru honorer di sekolah swasta yang SK pengangkatannya bukan oleh yayasan. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistyo di Jakarta kemarin (23/11), ada beberapa guru honorer di sekolah swasta yang mengantongi SK dari kepala sekolah. "SK-nya bukan dari ketua yayasan," kata dia.
Menurut surat edaran dari Sekjen Kemendikbud ini, jika ditemukan guru honorer kategori II atau guru honorer di sekolah swasta dengan SK pengangkatan bukan dari yayasan yang ditetapkan lolos sertifikasi, dinyatakan agar tidak dibayarkan TPP-nya.
Dalam surat edaran ini, kepala dinas pendidikan kabupaten dan kota dihimbau untuk memverifikasi dengan benar daftar calon penerima tunjangan sertifikasi. Jangan sampai tunjangan dikucurkan untuk dua kategori guru honorer tadi.
Dalam surat ini, aturan sertifikasi seperti tertuang dalam ayat 5 pasal 63 PP 74 Tahun 2008 tentang tentang Guru harus benar-benar ditegakkan. Diantaranya, Kemendikbud mengancam akan memberhentikan atau memecat guru jika terbukti memperoleh sertifikat dengan cara melawan hukum.
Konsekwensi dari pemecatan ini, guru yang bersangkutan harus mengembalikan seluruh TPP yang sudah diterima selama ini. Khusus ancaman kedisiplinan dalam memperoleh sertifikat ini, berlaku baik untuk guru honorer maupun guru PNS. Kemendikbud juga akan memberikan surat teguran kepada dinas pendidikan kabupaten, kota, hingga provinsi jika ditemukan ada praktek melanggar hukum dalam penetapan sertifikasi guru.
Lebih lanjut Sulistyo mengatakan, surat edaran ini benar-benar menakutkan bagi guru honorer yang penghasilannya bukan dari APBN atau APBD. "Jika ada yang sudah dinyatakan lolos (sertifikasi guru, Red), terus tunjangannya ditarik kan kasihan," katanya. Meskipun begitu, Sulistyo mengakui jika dalam aturannya memang guru honorer yang boleh mendapatkan kucuran TPP hanya yang mendapatkan penghasilan dari APBN dan APBD.
"Pertanyaannya sekarang, kenapa mereka bisa sampai lolos sertifikasi. Berarti dalam sistemnya ada lobang," ujar pria yang juga menjadi anggota DPD asal Provinsi Jawa Tengah itu. Sulistyo menegaskan, dalam kasus lolosnya guru honorer kategori II dalam program sertifikasi guru tidak bisa semata-mata menyalahkan guru.
Sulistyo juga meminta panitia sertifikasi guru mulai dari dinas pendidikan kabupaten/kota, provinsi, hingga perguruan tinggi harus dievaluasi kenapa ada guru yang seharusnya tidak lolos sertifikasi kok diloloskan. Evaluasi juga harus dilakukan pada perwakilan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMP-PMP) Kemendikbud di tingkat provinsi hingga di pusat.
Begitu pula terhadap ancaman pengembalian uang TPP karena guru terbukti melanggar hukum saat mendaftar sertifikasi. Diantaranya memalsukan ijazah atau menyuap pejabat dinas pendidikan. Sulistyo meminta tidak hanya guru yang disalahkan. Tetapi pejabat di dinas pendidikan yang meloloskan ijazah palsu atau penerima suap ini juga harus ditindak tegas.
"Logikanya, jika prosesnya sudah salah kok hanya gurunya saja yang disalahkan," tegas Sulistyo. Dia tidak ingin kasus ini terjadi dalam sertifikasi tahun depan. Dia mengakui, akibat dari keluarnya surat ini muncul keresahan di beberapa kota. Diantaranya yang menonjol di Kota Bandung.
Di kota lautan api itu, sejumlah guru honorer kategori II yang siap mengikuti proses sertifikasi protes. Pasalnya, mereka merasa terancam tidak bisa ikut sertifikasi gara-gara surat edaran Kemendikbud tadi. Padahal, diantara mereka sudah terdaftar dalam data nomor unik pendidik dan tenaga pendidikan (NUPTK) online BPSDMP-PMP Kemendikbud.
Di bagian lain, pihak BPSDMP-PMP Kemendikbud selaku ujung tombak sertifikasi guru menanggapi enteng surat edaran tadi. Kepala BPSDMP-PMP Kemendikbud Syawal Gultom saat ditemui di kantornya mengatakan surat edaran tadi tidak bisa dipandang kaku. "Surat itu sifatnya kontekstual," kata dia.
Gultom mengatakan, ada laporan guru yang memperoleh sertifikasi ternyata tidak mengajar sesuai ketentuan yaitu 24 jam per minggu. "Sudah nyata-nyata tidak sesuai ketentuan, masak harus dipaksakan menerima tunjangan (TPP, Red)," terangnya.
Untuk itu, Gultom berharap guru-guru tidak terlalu risau dengan keluarnya surat edaran tadi. Dia menandaskan, surat edaran ini dikeluarkan murni untuk menegakkan aturan pengucuran TPP. Pihak Kemendikbud hanya ingin memastikan TPP dikucurkan kepada guru yang benar-benar layak menerima.
Gultom juga mengatakan, tidak benar jika upaya penyetopan ini didasari karena kuangan negara yang menipis. Dia menandaskan, pemerintah sudah menyiapkan duit untuk TPP guru hingga periode pembayaran 2012 nanti. Dia masih belum berani membeberkan apakah dengan keluarnya surat ini akan mempengaruhi database calon peserta sertifikasi guru 2012 yang sudah terdata rapi di tempatnya.
 

Surat Edaran Kemendikbud Soal TPP

Surat Edaran Kemendikbud No 088209/A.C5/KP/2011
Tentang :
-Pencairan TPP dihentikan untuk Guru GTT atau Honorer Sekolah Negeri dan Swasta  yang SKnya pengangkatanya tidak dibiayai oleh APBN/APBD
-Guru yang tidak dibiayai APBN/APBD tidak dapat disertifikasi
-Guru PNS atau Honorer yang melanggar Hukum tapi lolos sertifikasi terancam dipecat dan dihentikan TPPnya dan harus mengembalikan pada negara.
-Pelanggaran hukum dapat berupa pemalsuan ijasah,manipulasi jam mengajar dan menyuap penjabat untuk lolos sertifikasi.
Berdasarkan Surat Edaran tersebut"Sangat meresahkan sekali bagi guru yang sudah tersertifikasiseharusnya jangan guru dijadikan bahan kesalahan saja namun panitialah yang harus disalahkan mengapa,jika guru salah mengapa harus terima TPP apakah tidak diseleksi lebih dalam lagi" ucap Ketua PB PGRI

Senin, 14 November 2011

Teknik membaca Kilat
Baca kilat adalah sebuah teknik yang dikembangkan dan diajarkan oleh Agus Setiawan, seorang trainer kenamaan dari Indonesia. Dilihat dri namanya saja sudah bisa ditebak, bahwa baca kilat itu adalah teknik membaca dengan cepat alias kilat.

Baca Kilat

Teknik baca kilat ini dirancang agar para pembacanya bisa membaca dan memahami buku satu halaman dalam waktu hanya satu detik. Terlihat sangat mustahil, tapi inilah nyatanya. Baca kilat menggunakan teknik dimana informasi yang didapat langsung dimasukkan ke dalam pikiran bawah sadar Anda, di mana pikiran bawah sadar adalah tempat tersimpannya kebiasaan, memori jangka panjang, keyakinan, keahlian, karakter dan intuisi. Sehinga jangan heran jika para pembaca kilat mampu memahami isi keseluruhan sebuah buku kurang dari lima menit.

Baca Kilat

Ada dua cara mendapatkan manfaat dari Bacakilat ini. Pertama menggunakan

aktivasi manual. Dengan menggunakan aktivasi manual, Anda akan menyelesaikan buku Anda paling tidak 3 kali lebih cepat dari pada Anda menggunakan cara biasa. Anda mendapatkan pemahaman yang lebih cepat dan lebih mudah, serta tahan lama, karena semua ada dalam memori jangka panjang. Aktivasi manual menggunakan isi buku untuk memancing pengertian dan pemahaman, memicu memori untuk memprosesnya ke pikiran sadar.

Cara yang kedua adalah menggunakan aktivasi otomatis. Aktivasi otomatis ini adalah saat informasi yang ada dalam memori jangka panjang Anda keluar dengan sendirinya karena Anda sedang membutuhkannya, baik karena Anda melakukan sesuatu atau karena Anda bertanya dan membutuhkan jawaban tertentu.

 Kotak kecil yang dapat memunculkan tayangan dan suara ini kerap disebut masyarakat dengan televisi. Ia telah menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Bahkan, tidak jatang apabila dalam satu rumah tangga terdapat lebih dari satu televisi. Sebagai sebuah kebutuhan pokok, menonton televisi banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Bahkan menurut penelitian terakhir, setidaknya 12 jam per hari masyarakat menghabiskan waktunya di depan layar televisi. Sehingga menurut Jalaluddin Rahmad, (Kang Jalal) televisi telah mampu mengubah atau mengatur pola hidup masyarakat.

Televisi selain sebagai media hiburan dan informasi juga dapat digunakan sebagai media pendidikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Darwanto dalam buku ini. Hal ini dikarenakan,televisi mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak bisa dimiliki oleh media massa lainnya. Karakteristik audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi khalayak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh negara dalam menyukseskan pembangunan dalam bidang pendidikan melalui program televisi sebagai sarana pendukung.

Televisi menjadi media yang cukup efektif dalam menjalankan atau mensosialisasikan program pemerintah. Pemerintah yang ingin masyarakat melek huruf, dapat menggunakan televise sebagai media pembelajaran melalui program belajar bersama. Sebagaimana yang dahulu hingga sekarang ada di Televisi Republik Indonesia (TVRI).

Lebih dari itu, keuntungan pemerintah menggunakan media televisi dalam mensosialisasikan programnya adalah mudah dan murahnya biaya operasional. Selain itu, tidak membutuhkan waktu lama. Pemerintah tinggal menggunakan atau memilih jam-jam tertentu dan saat itu pula masyarakat akan menontonnya. Hal ini seringkali dilakukan oleh Presiden Soeharto, saat memimpin Indonesia dengan Orde Barunya.

Dengan demikian, adanya televise tidak hanya menjadi modal utama dalam mewujudkan dan memperlancar program pemerintah dalam hal pendidikan dan pembangunan saja. Lebih dari itu, adanya televisi juga dapat dimanfaatkan sebagai ajang “mendekatkan diri” penguasa dan rakyatnya.

Dikarenakan televisi mempunyai banyak kelebihan dalam perkembangan selanjutnya ia dapat mempengaruhi sikap, tingkah laku dan pola pikirnya. Namun, karena kelebihan tersebut, televisi juga dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.

Seperti, kematian seorang peserta didik di Jawa Barat beberapa bulan yang lalu. Karena sering melihat tayangan kekerasan ala smackdown dan sejenisnya banyak anak-anak meniru dan akhirnya menjurus kepada aktivitas yang melanggar hukum.

Tidak hanya itu, karena televise swasta sering menayangkan film bergenre horror yang dibungkus dengan balutan agama, banyak orang terkecoh dan bahkan terjerumus dalam kesesatan gaya baru. Banyak masyarakat terjebak oleh alur cerita yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kemusyikan begitu menjadi sangat indah bahkan terkesan sebagai hal ibadah yang mendapatkan pahala.

Terjerumusnya masyarakat terhadap televisi dikarenakan media ini menggunakan komunikasi satu arah. Hal ini mengakibatkan penonton menjadi subyek penderita. Lebih lanjut, penontong dibuat pasif dan harus menerima apa yang ditayangkan oleh televise.

Dampak dari ini semua adalah, penonton tidak mampu memberontak terhadap apa yang disajikan. Penonton seperti dihipnotis, sehingga apa yang mereka lakukan tanpa sepengetahuan atau kontrol akal sehat. Dengan demikian, penonton menjadi malas dan tidak kreatif.

Maka kritik untuk buku yang ditulis oleh Darwanto ini adalah televisi yang ada sekarang lebih tidak mendidik daripada mendidiknya. Artinya, program acara yang disajikan televisi swasta pada umumnya adalah sama. Tidak jauh dari tema, percintaan anak muda (atau bahkan masih duduk di bangku SMA), mistik, horror, anak nakal vs anak baik dan seterusnya.

Pendapat Darwanto mengenai televisi sebagai media pendidikan adalah karena saat penelitiannya acara televisi dan stasiunnya masih terbatas. Hanya TVRI dan dua televise swasta (RCTI dan SCTV). Namun, walaupun demikian, buku ini dapat dijadikan momentum sejarah bahwa televisi dahulu mampu menyumbangkan sesuatu yang berharga bagi bangsa Indonesia. Yaitu mampu menciptakan sebuah tatanan masyarakat baru dengan ragam acara yang menyuguhkan serangkaian materi yang mendukung dunia pendidikan.

Membangun Budaya Baca dengan Perpustakaan Keliling

Oleh: Adi Ngadiman,S.Pd,MM.

Bila buku sebagai jendela ilmu pengetahuan, maka perpustakaan adalah gudangnya. Karena perpustakaan menyimpan buku-buku dan beragam jenis informasi yang dapat diakses dengan mudah oleh para pengunjungnya. Perpustakaan juga secara tidak langsung menjadi “pasar” bagi para transaksional ilmu pengetahuan, tempat bertemunya para “pembeli” ilmu pengetahuan dan beragam informasi yang harganya tidak dapat di ukur dengan materi.

Buku dan perpustakaan dua sejoli yang dirindu dan dibutuhkan oleh siapapun. Namun terkadang, tidak jarang diantara kita mengabaikannya. Fakta, bahwa banyak daerah di Indonesia membutuhkan buku-buku yang bermutu dan belum tersentuh perpustakaan namun di sisi lain perpustakaan yang sudah ada minim sekali pengunjung.

Memaknai Perpustakaan

Perpustakaan selain disebut sebagai gudang ilmu pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai sumber informasi dan tempat rekreasi, mengapa demikan? Pertama, perpustakaan dalam skala yang kecil sekalipun, tetap dapat dijadikan rujukan untuk berbagai informasi yang kita butuhkan. Kedua, selama di perpustakaan seseorang dapat membawa imajinasinya ke tempat dimanapun dan rentang waktu kapanpun di dunia melalui buku.

Ketiga, pada perpustakaan tertentu, tidak hanya menyediakan buku-buku dan sumber informasi tetapi juga menyediakan alat-alat permainan edukatif, yang memungkinkan para pengunjung dapat belajar sambil bermain. Keempat, perpustakaan juga dapat dijadikan sebagai sarana rujukan dalam tugas-tugas belajar yang dibebankan oleh guru/dosen. Kelima, perpustakan dapat menjadi tempat ”pelarian” bagi kita yang sudah mulai jenuh dengan hiruk pikuk suasana kerja/belajar.

Dengan pemaknaan di atas, perpustakaan tidak lagi sebagai tempat yang “angker”, sepi dan tempat hukuman bagi para siswa yang di anggap bermasalah, perpustakaan juga tidak lagi identik dengan kumuh, debu dan kaku. Konsekuensinya, perpustakaan harus dapat menyesuaikan dengan kondisi kekinian dan selera yang dapat diterima “pasar” baik tampilan maupun isinya.

Kondisi Perpustakaan di Tanah Air
Perpustakaan di Indonesia masih belum memadai, baik dari segi kuantitas dengan melihat ketersediaan perpustakaan di berbagai wilayah Indonesia dan segi kualitas yang menitikberatkan pada bagaimana pengeleloaan perpustakaan agar sesuai dengan apa yang diharapkan di atas.

Selain perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah melalui perpustakaan daerah, nyaris tidak ada lagi perpustakaan umum yang dapat di akses dengan mudah oleh pengunjung. Kalaupun ada, perpustakaan itu dibangun oleh lembaga besar atau individu yang memiliki dana banyak yang mampu membangun perpustakaan. Itu pun hanya lembaga besar atau individu yang memiliki kesadaran bahwa perpustakaan merupakan asset yang berharga.

Perpustakaan-perpustakaan yang sudah ada saat ini, kondisinya pun relatif memprihatinkan karena pengelolaan yang seadanya dan orang-orang yang bekerja didalamnya pun hanya sebagai pelengkap dan bukan sebagai idaman. Terkesan main-main, tidak serius atau terlalu kaku dalam menemui para pengunjung.

Melihat kondisi yang miris tersebut,bagi lembaga sosial kemanusiaan yang memiliki perhatian cukup tinggi dalam bidang pendidikan, mencoba memberikan alternatif program perpustakaan, kecil dan sederhana namun dapat memberikan makna yang lebih kepada masyarakat terutama para pengakses perpustakaan dan pecinta buku.

Perpustakaan Keliling sebagai Model
Dalam kiprahnya sebagai lembaga yang peduli terhadap perbaikan masa depan,perlu mengembangkan program-program perpustakaan yang terintegral dalam program pendidikan.Perlu mengembangkan program perpustakaan keliling di landasi beberapa hal sebagai berikut:

1.    Perpustakaan keliling dapat menjangkau daerah-daerah yang terpencil
2.    Bersifat aktif, artinya tidak menunggu para pembaca yang datang, tetapi menjemput anak-anak dan para pengunjung untuk dapat membaca.
3.    Suasana bersifat mobile, tidak monoton, kaku dan “angker”
4.    Program perpustakaan keliling relatif lebih murah
Membangun Indonesia dengan Pendidikan
Oleh : Ngadiman,S.Pd,MM.
TANGGAL 17 Agustus, tepat 65 tahun lalu, bangsa Indonesia telah memproklamasikan diri untuk merdeka. Di tengah peliknya kondisi peperangan dunia saat itu, Indonesia berhasil memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Memang tidak mudah memproklamasikan kemerdekaan itu, segala upaya tenaga dan pikiran merupakan harga yang harus dibayar untuk terciptanya negara kesatuan Republik Indonesia.

Kemerdekaan Bangsa Indonesia pun bukan lahir dari segelintir orang-orang biasa, mereka adalah orang yang terpelajar, jiwa kepemimpinan yang bersemayam dalam diri mereka dan pastinya nasionalisme yang tinggi. Itulah buah dari pendidikan yang sedari kecil mereka terima. Tentunya pendidikan dalam hal ini bukan berarti mereka hanya menerima secara mentah pelajaran dari institusi pendidikan saat itu. Akan tetapi faktanya, para tokoh kemerdekaan adalah orang yang memiliki pemikiran yang kritis terhadap kondisi dan menjadi solusi bagi permasalahan yang ada. Tentunya hal tersebut merupakan hasil dari pendidikan yang mereka terima bukan dari institusi pendidikan formal saat itu. Mungkin karena tekanan yang tinggi saat itu hingga menghasilkan insan-insan muda yang tangguh, yang siap untuk membangun bangsa.

Coba kita melaju lebih jauh ke masa depan, berdasarkan statistik selama tahun 1994-2008 yang diambil dari Badan Pusat Statistik, secara umum banyak pencapaian dalam dunia pendidikan Indonesia yang  meskipun belum terlalu signifikan, hal tersebut menunjukkan peningkatan prestasi dari proses pendidikan di Indonesia selama kurun waktu tersebut. Akan tetapi pertanyaannya, apakah data tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan kondisi Indonesia saat ini? Meskipun angka dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan peningkatan jumlah peserta didik di berbagai tingkatan pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi, nyatanya meski sudah 65 tahun merdeka, akan tetapi Indonesia masih 'terbelakang'. Banyaknya menara beton yang menjulang di berbagai kota besar di Indonesia, tidak dapat menjadi indikator dari keberhasilan pendidikan. Karena bisa jadi, manusia-manusia yang beraktivitas di dalamnya pun tak ubah layaknya robot-robot yang menjalani dan mengisi sendi-sendi kehidupan di Indonesia hanya dengan fisiknya saja, tanpa jiwa, hampa.

Ya itulah buah pendidikan kita selama ini, meskipun kemerdekaan telah kita raih, merah-putih telah berkibar, jiwa-jiwa ini masih terbelenggu dalam trauma penjajahan. Pemikiran-pemikiran ini masih terkekang oleh sistem warisan para penjajah. Hasilnya, pendidikan itu dianggap hanyalah sebuah proses yang harus dijalani untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang baik, semakin tinggi strata pendidikannya, semakin baik pula pekerjaan yang bisa didapatkannya. Begitulah anggapan banyak orang saat ini.

Dari banyaknya permasalahan yang berputar mengelilingi dunia pendidikan Indonesia, satu hal yang cukup krusial dan penting untuk dikritisi adalah ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Baik itu dalam segi infrastruktur, tenaga pendidik, hingga berbagai fasilitas pendukung lainnya. Hal ini merupakan suatu dampak dari sentralisasi pembangunan yang diberlakukan pada zaman orde baru. Akibatnya, ribuan bahkan jutaan orang dari berbagai pelosok nusantara berbondong-bondong menuju Ibu kota untuk merasakan manisnya pembangunan. Hingga akhirnya, pembangunan pun benar-benar mengalami kekacauan. Kota-kota besar mengalami ledakan penduduk dengan datangnya kaum urban dari berbagai pelosok negeri, hingga akhirnya menimbulkan berbagai masalah lainnya seperti kriminalitas, pemukiman kumuh, buruknya sanitasi dan sebagainya yang merupakan sebuah efek domino dari pangkal permasalahan yang ada. Sedangkan daerah terpencil mengalami keterlambatan pembangunan, bahkan program transmigrasi dalam artian pemindahan jumlah penduduk yang dulu diusung pemerintah pun kurang teroptimalkan.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah selama rezim orde baru berhasil menciptakan ibu kota dengan infrastruktur yang tergolong mewah jika dibandingkan dengan kota lainnya. Dari sektor pendidikan itu sendiri pun sudah dapat kita lihat bersama bahwa sekolah-sekolah di DKI Jakarta memiliki fasilitas yang serba berkecukupan, bahkan biaya pendidikan sudah tidak terlalu membebani orang tua peserta didik lagi untuk tingkatan SD dan SMP. Tidak hanya itu, gaji seorang guru di Jakarta pun tergolong 'wah', dapat mencapai hingga 8 juta rupiah per bulannya. Dengan fasilitas yang tersedia maka tidak sulit bagi sekolah-sekolah di DKI Jakarta untuk mengukir prestasi di kancah nasional maupun internasional.

Berbeda dengan sekolah-sekolah di kota, justru fasilitas pendukung pendidikan di daerah pedesaan masih merupakan barang mahal yang sangat sulit dijangkau oleh masyarakat. Seperti yang dikutip dari artikel Pelajaran Berharga dari Desa Pindol di website wikimu.com, desa Pindol hanya memiliki sebuah sekolah dasar. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kurangnya tenaga pengajar. Bagaimana tidak? Jumlah siswa di SD negeri Pindol sekira 200 anak dan hanya memiliki dua guru, salah seorang dari gurunya bahkan merangkap pekerjaan menjadi kepala sekolah. Tidak usah membayangkan gedung sekolah, atau bahkan fasilitas pendidikan lainnya jika melihat tenaga pengajarnya saja seperti itu. Sungguh suatu ironi.

Terlepas dari peliknya dunia pendidikan dengan berbagai permasalahan di dalamnya, salah satu tujuan dari pendidikan adalah pembangunan. Oleh karena itu, sentralisasi pembangunan pendidikan yang telah terjadi mengakibatkan keberlambatan pembangunan daerah itu sendiri. Dampaknya, akhir-akhir ini marak diberlakukannya otonomi daerah, bahkan pemekaran daerah, demi mempercepat pembangunan, khususnya daerah terpencil yang memiliki akses sangat terbatas dari perkotaan. Padahal yang terpenting dan lebih esensial adalah semangat untuk membangun Indonesia yang berawal dari daerah masing-masing, tanpa menghilangkan semangat nasionalisme tentunya. Jika kemerataan pendidikan di Indonesia telah tercapai, setidaknya kemerataan fasilitas pendidikan, tentunya pembangunan Indonesia akan lebih merata. Selebihnya, tinggal masalah waktu untuk melihat Indonesia menjadi sebuah negara maju.

Masalah Pendidikan paling utama di Indonesia

Oleh : Ngadiman,S.Pd,MM

Kita semua tentu tahu, bahwa Indonesia adalah negara yang dikenal sebagai negara yang kaya raya, namun sumber daya manusianya masih lemah dalam pendidikan. Hal ini diakui oleh banyak orang di dunia, bahkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Boleh Dibilang, pendidikan di Indonesia adalah salah satu yang kurang maju dari semua negara di dunia.


Masalah pendidikan

Hal ini disebabkan karena banyaknya masalah pendidikan di Indonesia yang masih sangat sulit untuk diatasi. Adapaun beberapa masalah utama pendidikan di Indonesia adalah :

1. Mahalnya Biaya pendidikan
Inilah masalah utama pendidikan di Negeri ini, yaitu mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Hal inilah yang kemudian banyak memunculkan fenomena putus sekolah di kalangan anak-anak Indonesia. Jangankan untuk sekolah Swasta, Untuk sekolah negeri pun, biaya pendidikanya tetap tinggi. Opsi bantuan BOS yang diberikan oleh pemerintah pun masih belum bisa mengatasi masalah mahalnya biaya pendidikan ini.

2. Kurangnya Pemerataan Pendidikan di Indonesia
Bagi sebagian orang, pendidikan adalah hal yang biasa, namun bagi banyak orang yang berada di wilayah terpencil, pendidikan adalah barang mewah dan sangat berharga. Kenapa? karena memang di negara yang menganut paham desentralisasi ioni, pendidikan lebih difokuskan di wilayah-wilayah pokok yang lebih potensial. Hal inilah yang kemudian menimbulkan kurangnay pemerataan dan menjadikan kesenjangan dalam pendidikan.

3. Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan
Kita tentu sudah banyak mendengar berita tentang sekolah roboh, atau sekolah rusak karena bangunanya yang sudah lapuk namun tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Inilah salah satu bukti betapa Rendahnya Kualitas Sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia.

4. Masih rendahnya kesejahteraan Guru
Salah satu acuan yang bisa diukur untuk menentukan Keberhasilan pendidikan adalah tingkat kesejahteraan para Guru. Namun apa bisa dikata, Di Indonesia masih banyak guru yang dibayar dengan upah yang kurang layak atau bahkan tidak layak. Walaupun banyak orang beranggapan bahwa guru itu adalah profesi yang mewah, namun tetap saja masih banyak guru yang belum bisa menerima hasil jerih payahnya secara adil.

5. Rendahnya Prestasi Siswa
Dari penelitian Balitbang, Daya tangkap materi siswa di Indonesia hanya sekitar 30% dari semua materi yang diajarkan. hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya kurangnya kepedulian dalam dunia pendidikan dan juga masih kurangnya pengetahuan para siswa tentang arti sebuah pendidikan.
_______________________________________________________________________ 60% artikel di blog ini saya buat dengan jerih payah saya sendiri, jadi jika anda mau meng-copas artikel dari blog ini, Saya mohon untuk sudi mencantumkan sumber blog ini.

LANDASAN EKONOMI DALAM PENDIDIKAN GLOBAL

Oleh Rully Aprilia Zandra *)
Guru Yayasan Pendidikan Bhakti Wanita Islam

Abstract
In United States the defrayal of public school come from local government, state in a federal system (primary source for repairing the public education), and federal government where from the third of them obtained through tax. Remember the activity of education is defrayed from tax, hence of taxes payers will influence how and to what the moneys are applied in activity of educations. Thereby solution concerning economics is not only concerning the wealthy, but everybody, including people make a move in education world and education world which elaborate it. Economics globalization knocking over world, automatically influence most of all state in world, including Indonesia in order not to be convolute and dashed down by waving world economic globalization. Based on review at research of book hence is inferential as follows: (1) Economic of education hold important enough role, although not be the most important factor, in succeeding education mission, (2) Education economics function is as supporter of fluency of education process and as a Iesson matter for forming economic man, (3) Education source of fund besides governmental and public, education institute still can have another source as many as possible, (4) Education fund require to be managed professionally, in general with SP4, and will be justify with purchasing evidence validating.
Key Word: Economic base, Global education


Pendahuluan
Kegiatan pendidikan di Amerika Serikat merupakan suatu usaha besar-besaran. Hal tersebut tercermin pada anggaran belanja pendidikannya yang sangat besar (berbeda dengan Indonesia yang hanya menganggarkan sedikit saja APBN nya untuk pos pendidikan). Di Amerika Serikat pembiayaan public school berasal dari pemerintah lokal, pemerintah negara bagian (sumber utama untuk memperbaiki public education), dan pemerintah federal, yang ketiganya diperoleh melalui pajak. Mengingat kegiatan pendidikan dibiayai dari pajak, maka para pembayar pajak akan mempengaruhi bagaimana dan untuk apa saja uang digunakan dalam kegiatan pendidikan. Pembaharuan pendidikan pada public education merupakan hal yang disoroti secara tajam oleh para pembayar pajak dan para peminat pendidikan, di samping pemerintah Amerika Serikat (Dimyati, 1988:71-73).

Pada zaman pasca modern atau globalisasi sekarang ini, yang sebagian besar manusianya cenderung mengutamakan kesejahteraan materi dibanding kesejahteraan rohani, membuat ekonomi mendapat perhatian yang sangat besar. Tidak banyak orang mementingkan peningkatan spiritual. Sebagian terbesar dari mereka ingin hidup enak dalam arti jasmaniah.
Kecenderungan tersebut sangat dipengaruhi o1eh perkembangan budaya, terutama dalam bidang teknologi, kesenian, dan pariwisata. Berbagai produk baru yang semakin canggih ditawarkan, berbagai perlengkapan hidup dengan model dan desain yang semakin menarik dipajang di toko-toko, dan para pemandu wisata secara gencar menarik wisatawan dengan daerah-daerah wisatanya yang menjanjikan kekaguman. Situasi seperti ini membuat orang – orang berusaha mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk memenuhi seleranya.

Selain pemenuhan selera tersebut di atas, manusia pada umumnya tidak bisa bebas dari kebutuhan akan ekonomi. Sebab kebutuhan dasar manusia membutuhkan ekonomi. Ini berarti orang tidak mampu pun memerlukan uang untuk mengisi perutnya dan sekedar berteduh di waktu malam. Dengan demikian pembahasan tentang ekonomi tidak hanya menyangkut orang-orang kaya, melainkan semua orang, termasuk orang dan dunia pendidikan yang ditekuninya.

Peran Ekonomi dalam Pendidikan
Di samping memajukan perekonomian di negeri sendiri, sejumlah negara yang sudah makmur juga memberi bantuan kepada negara – negara berkembang berupa pinjaman lunak atau bantuan khusus. Kerjasama ekonomi yang lain adalah diperbolehkannya suatu negara membentuk usaha atau industri di negara lain dengan bentuk perjanjian tertentu. Bukan hanya negara diizinkan mengadakan kerja sama seperti itu, tetapi juga usaha-usaha swasta. Bentuk kerjasama yang lain adalah diproduksinya komponen - komponen suatu produksi di daerah atau di negara lain. Artinya suatu hasil produksi tidak selalu memakai komponen produksinya sendiri, seringkali memakai sejumlah komponen yang dihasilkan oleh industri lain. Semua ini merupakan wujud dari globalisasi ekonomi.

Pemerintah Indonesia memutuskan tetap mengutamakan pembangunan ekonomi seperti halnya pada Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama dahulu. Kalau dahulu alasannya ekonomi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, maka kini di samping alasan itu, juga agar tidak kalah bersaing dalam era g1obalisasi ekonomi ini. Perhatian pemerintah sangat besar dalam bidang ekonomi. Berbagai kebijaksanaan dan peraturan baru di buat. Frekuensi munculnya kebijaksanaan dengan peraturannya ini cukup banyak. Dan jelas berbeda sekali dengan frekuensi munculnya kebijakan dan peraturan-peraturan baru di bidang lain.

Akibat pengutamaan pembangunan di bidang ekonomi adalah munculnya berbagai usaha baru, pabrik-pabrik baru, industri-industri baru, badan-badan perdagangan baru, dan badan-badan jasa yang baru pula. Jumlah konglomerat bertambah banyak, walaupun orang-orang miskin masih tetap ada. Pertumbuhan ekonomi menjadi tinggi, dan penghasilan negara bertambah, walaupun hutang luar negeri cukup besar dan penghasilan rakyat kecil masih minim.

Perkembangan ekonomi makro berpengaruh pula dalam bidang pendidikan. Cukup banyak orang kaya sudah mau secara sukarela menjadi bapak angkat agar anak-anak dari orang tidak mampu bersekolah, terlepas dari apakah karena dorongan hati sendiri atau berkat himbauan pemerintah yang tidak pemah berhenti. Sikap dan tindakan seperti ini sangat terpuji, bukan hanya karena bersifat perikemanusiaan, melainkan juga dalam upaya membantu menyukseskan wajib belajar 9 tahun. Mereka telah menyisihkan sebagian dari rejekinya untuk beramal bagi yang memerlukan. Tindakan seperti ini patut dicontoh oleh mereka yang kaya tetapi belum menjadi bapak angkat.

Perkembangan lain yang menggembirakan di bidang pendidikan adalah terlaksananya sistem ganda dalam pendidikan. Siatem ini bisa berlangsung pada sejumlah lembaga pendidikan, yaitu kerjasama antara sekolah dengan pihak usahawan dalam proses belajar mengajar para siswa, adalah berkat kesadaran para pemimpin perusahaan atau industri akan pentingnya pendidikan. Kesadaran inipun muncul sebagian karena usaha mereka berhasil dan memberi keuntungan lebih banyak.

Tampaknya mereka sudah mulai sadar bahwa sebagai seorang pengusaha, lebih-lebih yang berhasil, mempunyai kewajiban untuk memberi di samping menerima dari dunia pendidikan. Mereka sudah merasa bahwa tindakan menerima lulusan saja dari lembaga pendidikan adalah keliru. Sebagai pemakai lulusan mereka patut menyumbang kepada pendidikan ini. Sumbangan yang paling berarti bagi pendidikan adalah ikut menangani proses pendidikan itu sendiri dalam batas-batas kemampuan mereka masing-masing. Seperti diketahui, sistem ganda ini diadakan dalam rangka mengembangkan keterampilan para siswa. Pengembangan ini membutuhkan alat-alat belajar yang cukup banyak jumlah dan jenisnya. Sementara itu sebagian sebesar sekolah tidak memilikinya, yang merupakan salah satu hambatan utama bagi sekolah. Berkat uluran tangan para pengusaha, maka secara pelan-pelan alat-alat belajar ini bisa dipenuhi. Dalam sistem ini para siswa belajar di dua tempat yaitu di sekolah dan perusahaan.

Dampak lain dari keberhasilan pembangunan ekonomi secara makro adalah munculnya sejumlah sekolah unggul. Sekolah-sekolah ini didirikan oleh orang-orang kaya atau konglomerat atau kumpulan dari mereka, yang bertebaran di seluruh Indonesia. Sudah tentu kondisi sekolah seperti ini tentu dengan sekolah-sekolah pada umum. Sekolah ini lebih unggul dalam prasarana dan sarana pendidikan, lebih unggul dalam menggaji pendidik-pendidiknya. Program belajarnya lebih beragam atau lebih kaya dan mungkin proses belajarnya juga lebih baik. Hanya produksinya atau lulusannya belum dapat dikomentari sebab sekolah-sekolah itu baru mulai berdiri.

Pendapat masyarakat tentang sekolah unggul ini ada yang pro dan ada pula yang kontra. Hal seperti itu memang bisa terjadi terhadap sesuatu yang baru mulai berdiri. Sesungguhnya ditinjau dari niat baik para konglomerat atau orang kaya untuk mendirikan sekolah sudah merupakan keuntungan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Mengapa demikian? Karena bantuan dana dan mereka terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang sudah ada belum tampak secara berarti. Dengan mendirikan sekolah tersendiri, menunjukkan kepada kita bahwa sebagian dari penghasilan mereka sudah disumbangkan dalam wujud persekolahan. Memang sudah waktunya mereka menaruh perhatian kepada pendidikan, sebagai balas jasa terhadap republik, tempat mereka berusaha dan menjadi kaya. Diharapkan makin lama makin banyak sekolah unggul didirikan. Sehingga kelak tiba waktunya sekolah-seklah swasta akan lebih tinggi mutunya dari pada sekolah-sekolah negeri, seperti halnya dengan di negeri - negeri maju., Hal ini memang wajar sebab dana pendidikan dari pemerintah sangat terbatas.

Sekolah-sekolah unggul ini tetap diterima oleh negara maupun masyarakat, selama ia mengikuti atau tunduk kepada undang-undang. atau aturan pemerintah tentang pendidikan dan tidak menanamkan kebudayaan asing yang tidak cocok dengan kebudayaan Indonesia.
Walaupun kebijakan dan program sekolah ini tidak sama satu dengan yang lain, diharapkan mereka tidak pilih kasih menerima calon siswa. Artinya setiap calon dari manapun asalnya hendaklah diberi kesempatan yang sama asal mereka mampu membayar. Begitu pula proses belajar mengajar hendaklah lebih baik daripada seko1ah - sekolah pada umumnya, sehingga ia patut menjadi contoh ba sekolah-sekolah lain. Dan yang paling penting bisa menghasilkan lulusan yang bermutu serta tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional kita.

Sesudah membicarakan peran ekonomi secara makro, maka ada baiknya bila pembicaraan ini diteruskan dengan peran ekonomi secara mikro dalam kehidupan. Pada umumnya orang mengatakan kehidupan seseorang meningkat atau menurun selalu dikaitkan dengan perekonomian orang tersebut. Meningkat atau menurunnya kehidupan dimulai dari rumah yang dimiliki, jenis kendaraan yang dipakai, perhiasan atau macam pakaian yang biasa dipakai, menu makanan Sehari - hari, dan gaya hidup. Jarang sekali orang mengaitkan naik turunnya kehidupan dengan tingkat kedamaian hati, kebahagiaan keluarga, kejujuran, atau kesucian hidup seseorang. Pada hal kondisi manusia juga merupakan suatu kehidupan.

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ekonomi itu memegang peeranan yang penting dalam kehidupan seseorang, walaupun orang itu sudah menyadari bahwa kehidupan yang gemerlapan tidak menghasilkan menjamin akan memberi kebahagiaan. Mereka pada umumnya seperti tidak punya kemampuan untuk menahan diri dari kemauan untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Mereka bergelut untuk bisa meraih tingkat ekonomi yang lebih tinggi.
Persekolahan di Indonesia sebagian besar masih lemah ekonominya. Memang hampir semuanya sudah punya gedung, walaupun tidak megah, tetapi perlengkapan belajarnya masih minim. Juga kesejahteraan guru dan dosennya belum memadai. Lebih-lebih bagi guru di SD, keadaannya sangat menyedihkan sehingga sebagian terbesar dari mereka terpaksa mencari sambilan di luar untuk menutupi ekonominya. Hal ini bisa terjadi karena keterbatasan dana dari pemerintah maupun dari yayasan.

Walaupun tiap keluarga berusaha meningkatkan perekonomian, namun mereka tidak selalu berhasil, sebab keberhasilan itu ditentukan oleh banyak faktor. Akibatnya masih banyak keluarga yang di bawah garis kemiskinan. Dan bila secara kebetulan mereka diam paada lokasi yang sama, maka terjadilah suatu desa miskin. Desa-desa seperti ini masih cukup banyak jumlahnya di Indonesia.

Kemiskinan ini berdampak jelas pada pendidikan khususnya pembelajaran. Peserta didik dari keluarga kurang mampu umumnya tidak dapat menerima pembelajaran yang optimal. Selain waktu mereka banyak disibukkan bekerja membatu okenomi orang tuanya untuk makan dan biaya sekolah, media pembelajaranpun banyak yang tak terbeli sehingga pembelajaran di sekolah tidak bisa berjalan optimal seperti peserta didik yang mampu membeli buku.

Demikian pula di daerah terpencil terdapat satu masalah lagi yakni kurang tersedianya tenaga pengajar, lebih lebih tenaga pengajar yang baik mutunya. Hal ini dikarenakan para guru, lebih lebih yang punya kualitas mengajar baik enggan ditempatkan atau mengabdi di daerah daerah terpencil. Alasannya beragam, selain jarak yang ditempuh setiap harinya sangat jauh, media pembelajaran sangat minim, penghasilan yang didapatpun tidak sebanding dengan pengorbanannya.

Kabar baiknya saat ini pemerintah telah mebaca dan menyikapi masalah ini. Pemerintah memberikan tambahan penghasilan Rp. 1.500.000,- perbulan bagi para tenaga pengajar yang bersedia ditempatkan di daerah terpencil. Secara nyata kebijakan ini memberikan motivasi pada para tenaga pengajar untuk berbondong-bondong memajukan pendidikan di daerah. Dengan jumlah tenaga pengajar yang memadai mutu pembelajaran dapat ditingkatkan.
Sertifikasi guru dan dana BOS, merupakan berita menggembirakan berikutnya bagi peningkatan mutu pembelajaran pada pendidikan di Indonesia. Selain peningkatan kesejahteraan guru, bidikan pemerintah dalam sertifikasi adalah peningkatan mutu tenaga pengajar di Indonesia. Dengan mutu tenaga pengajar yang baik serta perekonomian guru yang berlangsung baik diharapkan para tenaga pengajar dapat memberikan pembelajaran yang lebih baik.

Fungsi Produksi Ekonomi dalam Pendidikan
Sebelum membahas fungsi produksi ekonomi, ada baiknya kita bicarakan dulu bagaimana menghitung harga-harga input fungsi produksi.
1. Tentang prasarana dan sarana belajar berlaku ketentuan sebagai barang modal selama 25 tahun. Prasarana dan sarana tersebut sudah dipandang tidak punya harga. Karena bangunan ini makin lama makin tua, maka ia kena aturan depresiasi 1,5% sampai 2% per tahun, artinya harga bangunan itu akan turun setiap tahun sebesar 1,5% atau 2% dari harga awal atau harga sisa. Bila uang yang dipakai membangun adalah uang pinjaman maka bunga yang sesuai dengan aturan bank juga tuna diperhitungkan. Perhitungan-perhitungan seperti ini juga berlaku bagi kendaraan dinas. Mengenai perlengkapan belajar, media, alat-alat peraga, buku-buku, film, disket, dan sebagainya tidak ada ketentuan yang jelas tentang cara menghitung harganya. Namun demikian aturan di atas dapat pula diberlakukan pada barang-barang seperti ini.
2. Perhitungan harga barang-barang habis pakai cukup dilakukan dengan rnenghitung harga pembeliannya.
3. Tentang harga guru dan personalia sekolah lainnya dihitung dengan cara menjumlahkan gaji dan penghasilan penghasilan sah lainnya di sekolah. Hanya untuk guru honorer harganya dihitung berdasarkan waktu mengajarnya.

Sekarang kita teruskan dengan fungsi produksi yang ketiga yaitu fungsi produksi ekonomi. Input fungsi produksi ini adalah sebagai berikut :
1. Semua biaya pendidikan seperti pada input fungsi produksi administrator.
2. Semua uang yang dikeluarkan secara pribadi untuk kepeduan pendidikan seperti uang saku, transportasi, membeli buku, alat-alat tulis, dan sebagainya selama masa belajar atau kuliah.
3. Uang yang mungkin diperoleh lewat bekerja selama belajar atau kuliah, tetapi tidak didapat sebab waktu tersebut dipakai untuk belajar atau kuliah. Uang seperti ini disebut opportunity cost.

Sementara itu yang menjadi outputnya adalah tambahan penghasilan peserta didik kalau sudah tamat dan bekerja, manakala orang ini sudah bekerja sebelum belajar atau kuliah. Dan apabila ia belum pernah bekerja yang menjadi output-nya adalah gaji yang diterima setelah tamat dan bekerja.

Fungsi produksi ekonomi di atas dapat dipelajari dan diperhitungkan dengan seksama oleh para pengelola di setiap sekolah untuk merumuskan kurikulum pembelajaran muatan lokal yang seuai dengan kebutuhan lapangan di daerah itu, peningkatan kesejahteraan guru, dan strategi efisiensi dalam pelaksanaan pembelajaran siswa di sekolah itu. Selain dapat gunakan sebagai penunjang kelancaran pembelajaran, fungsi ekonomi dapat pula diberikan sebagai materi pelajaran untuk membentuk manusia ekonomi.

Penutup
Berdasar ulasan – ulasan tersebut dapat disarikan sebagai berikut, (1) Ekonomi pendidikan memegang peran cukup penting, walaupun bukan yang terpenting dalam pembelajaran. (2) Sumber dana pendidikan khususnya proses pembelajaran selain dari pemerintah juga berasal dari masyarakat, lembaga pendidikan, dan masih bisa digali sumber-sumber lain sebanyak mungkin. (3) Fungsi ekonomi merupakan penunjang kelancaran pembelajaran dan sebagai materi pelajaran untuk membentuk manusia ekonomi.


DAFTAR PUSTAKABuchori, Mochtar. 1996. “Menuju Madrasah Unggul.” Transformasi Pendidikan di Indonesia dan Tantangannya di Masa Depan. IKIP Muhammadiyah Jakarta Press: Jakarta.
Carpenter, et al.”The Analysis of Effectiveness” Sue A. Haggart, (editor). Program Budgeting for School District Planning. Educational Technology, New Jersey.
Kotler, Philip and Karen F.A. Fox, 1985, Strategic Marketing for Educational Institutions, Prentice-Hall, Inc. New Jersey.
Levin, Henry M. 1985, Cost-Effectiveness A Primer, Sage Publications, London.
Link and Match, 1993, Panitia Rapat Kerja Nasional, Dep. P dan K, Jakarta.
Made Pidarta. 1988. Manajemen Paguron, hasil penelitian, Laboratorium Administrasi Pendidikan, FIP, IKIP Surabaya, Surabaya.
Mutrofin. 1996. “Pendidikan, Ekonomi, dan SDM Produktif”, Transformasi Pendidikan di Indonesia dan tantangannya di Masa Depan, IKIP Muhammadiyah jakarta Press, Jakarta.
Panduan Rapat Kerja Daerah Perguruan Tinggi negeri Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996, Biro Perencanaan, SWEkjen, Dep. P dan K, Jakarta.
Sanderson, Stephen K. 1991. Sosiologi Makro. Terjemahan oleh Farid Wajidi & S. Menno. 1993. Jakarta: Rajawali Pers.
Spring, Joel. 1989. American Education. New York: Longman.
Thomas, J. Alan, tt. The Produvtive School, Jhon Wiley dan Sons, Inc. New York.
Thut, I. N. & Adams, Don. 1984. Pola-pola Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer. Terjemahan oleh SPA Teamwork. 2005. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

MENGEMBANGKAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH

Oleh Trianto, S.Pd., M.Pd
Guru MAN Surabaya, DLB IAIN Sunan Ampel Surabaya dan DTY Unsuri Surabaya

AbstrakSeringkali dalam pembelajaran di sekolah, siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Sebagian besar siswa kurang mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dimanfaatkan/diaplikasikan pada situasi baru. Untuk itu diperlukan menemukan cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata. Pelaksanaan pengajaran berdasarkan masalah yaitu (1) tugas-tugas perencanaan, (2) tugas interaktif, (3) lingkungan belajar dan tugas-tugas manajemen, (4) asesmen dan evaluasi.
Kata Kunci: Model Pembelajaran, Pembelajaran Berdasarkan masalah.


Pendahuluan
Banyak kritik yang ditujukan pada cara guru mengajar yang terlalu menekankan pada penguasaan sejumlah informasi/konsep belaka. Penumpukan informasi/konsep pada subjek didik dapat saja kurang bermanfaat bahkan tidak bermanfaat sama sekali kalau hal tersebut hanya dikomunikasikan oleh guru kepada subjek didik melalui satu arah seperti menuang air ke dalam sebuah gelas (Rampengan dalam Trianto, 2007: 65). Tidak dapat disangkal, bahwa konsep merupakan suatu hal yang sangat penting, namun bukan terletak pada konsep itu sendiri, tetapi terletak pada bagaimana konsep itu dipahami oleh subjek didik. Pentingnya pemahaman konsep dalam proses belajar mengajar sangat mempengaruhi sikap, keputusan, dan cara-cara memecahkan masalah. Untuk itu yang terpenting terjadi belajar yang bermakna dan tidak hanya seperti menuang air dalam gelas pada subjek didik.

Kenyataan di lapangan siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Lebih jauh lagi bahkan siswa kurang mampu menentukan masalah dan merumuskannya. Berbicara mengenai proses pembelajaran dan pengajaran yang sering membuat kita kecewa, apalagi dikaitkan dengan pemahaman siswa terhadap materi ajar. Walaupun demikian kita menyadari bahwa ada siswa yang mampu memiliki tingkat hafalan yang baik terhadap materi yang diterimanya, namun kenyataan mereka sering kurang memahami dan mengerti secara mendalam pengetahuan yang bersifat hafalan tersebut (Depdiknas 2002 : 1).

Menurut Arends (1997: 243): “It is strange that we expect students to learn yet seldom teach then about learning, we expect student to solve problems yet seldom teach then about problem solving”, yang berarti dalam mengajar guru selalu menuntut siswa untuk belajar dan jarang memberikan pelajaran tentang bagaimana siswa untuk belajar, guru juga menuntut siswa untuk menyelesaikan masalah, tapi jarang mengajarkan bagaimana siswa seharusnya menyelesaikan masalah.

Persoalan sekarang adalah bagaimana menemukan cara yang terbaik untuk menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan dan mengingat lebih lama konsep tersebut. Bagaimana guru dapat berkomunikasi baik dengan siswanya. Bagaimana guru dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari seluruh siswa, sehingga dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dalam kehidupan nyata.

Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata. Misalnya suatu fenomena alam, mengapa tongkat seolah-olah kelihatan patah saat dimasukkan dalam air?, mengapa uang logam yang diletakkan dalam sebuah gelas kosong jika dilihat pada posisi tertentu tidak kelihatan tetapi saat diisi air menjadi kelihatan?. Dari contoh permasalahan nyata jika diselesaikan secara nyata, memungkinkan siswa memahami konsep bukan sekedar menghafal konsep (Trianto, 2007: 67).

Meminjam pendapat Bruner (Slavin dalam Nur, 2002: 5), bahwa berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna. Suatu kosekuensi logis, karena dengan berusaha untuk mencari pemecahan masalah secara mandiri akan memberikan suatu pengalaman konkret, dengan pengalaman tersebut dapat digunakan pula memecakan masalahan-masalah serupa, kerena pengalaman itu memberikan makna tersendiri bagi peserta didik.

Hakekat Pengajaran Berdasarkan MasalahPengajaran berdasarkan masalah telah dikenal sejak zaman John Dewey, yang sekarang ini mulai diangkat sebab ditinjau secara umum pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari menyajikan kepada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Menurut Dewey (dalam Sudjana 2001: 19) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik.

Menurut Arends (1997), pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan ketrampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti “pembelajaran berdarkan proyek (project-based instruction)”, “pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction)”, “belajar otentik (authentic learning)” dan “pembelajaran bermakna (anchored instruction)”.
Menurut Arends (2001: 349), berbagai pengembang pengajaran berdasarkan masalah telah memberikan model pengajaran itu memiliki karakteristik sebagai berikut (Krajcik, 1999; Krajcik, Blumenfeld, Marx, & Soloway, 1994; Slavin, Maden, Dolan, & Wasik, 1992, 1994; Cognition & Technology Group at Vanderbilt, 1990).

1. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Bukannya mengorganisasikan di sekitar prisip-prinsip atau ketrampilan akademik tertentu, pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
2. Berfokus pada keterkaitan antar disiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial), masalah yang akan diselidiki telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran. Sebagai contoh, masalah polusi yang dimunculkan dalam pelajaran di teluk Chesapeake mencakup berbagai subyek akademik dan terapan mata pelajaran seperti biologi, ekonomi, sosiologi, pariwisata, dan pemerintahan.
3. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, dan membuat ramalan, mengumpul dan menganalisa informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan.
4. Menghasilkan produk dan memamerkannya. Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk tersebut dapat berupa transkrip debat seperti pada pelajaran “Roots and wings”. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer. Karya nyata dan peragaan seperti yang akan dijelaskan kemudian, direncanakan oleh siswa untuk mendemonstrasikan kepada teman-temannya yang lain tentang apa yang mereka pelajari dan menyediakan suatu alternatif segar terhadap laporan tradisional atau makalah.
5. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan ketrampilan berfikir.

Manfaat Pengajaran Berdasarkan Masalah
Pengajaran berdasarkan masalah tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Pengajaran berdasarkan masalah dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual; belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi; dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri (Ibrahim, 2000: 7).
Menurut Sudjana manfaat khusus yang diperoleh dari metode Dewey adalah metode pemecahan masalah. Tugas guru adalah membantu para siswa merumuskan tugas-tugas, dan bukan menyajikan tugas-tugas pelajaran. Objek pelajaran tidak dipelajari dari buku, tetapi dari masalah yang ada di sekitarnya.

Menurut Ibrahim (2003: 15), di dalam kelas PBI, peran guru berbeda dengan kelas tradisional. Peran guru di dalam kelas PBI antara lain sebagai berikut: (1) Mengajukan masalah atau mengorientasikan siswa kepada masalah autentik, yaitu masalah kehidupan nyata sehari-hari; (2) Memfasilitasi/membimbing penyelidikan misalnya melakukan pengamatan atau melakukan eksperimen/percobaan; (3) Memfasilitasi dialog siswa; dan (4) Mendukung belajar siswa.

Pelaksanaan Pengajaran Berdasarkan Masalah
1. Tugas-tugas Perencanaan
Karena hakekat interaktifnya, model pengajaran berdasarkan masalah membutuhkan banyak perencanaan, seperti halnya model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa lainnya.
a. Penetapan tujuan
Model pengajaran berdasarkan masalah dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan seperti keterampilan menyelidiki, memahami peran orang dewasa, dan membantu siswa menjadi pemelajar yang mandiri. Dalam pelaksanaanya pemelajaran berdasarkan masalah bisa saja diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
b. Merancang situasi masalah
Beberapa guru dalam pengajaran berdasarkan masalah lebih suka memberi kesempatan dan keleluasaan kepada siswa untuk memilih masalah yang akan diselidiki, karena cara ini dapat meningkatkan motivasi siswa. Situasi masalah yang baik seharusnya autentik, mengandung teka-teki, dan tidak didefinisikan secara ketat, memungkinkan kerjasama, bermakna bagi siswa, dan konsisten dengan tujuan kurikulum.
c. Organisasi sumber daya dan rencana logistik
Dalam pengajaran berdasarkan masalah siswa dimungkinkan berkerja dengan beragam material dan peralatan, dan dalam pelaksanaanya bisa dilakukan di dalam kelas, di perpustakaan, atau di laboratorium, bahkan dapat pula dilakukan di luar sekolah. Oleh karena itu tugas mengorganisasikan sumber daya dan merencanakan kebutuhan untuk penyelidikan siswa, haruslah menjadi tugas perencanaan yang utama bagi guru yang menerapkan pemelajaran berdasarkan pemecahan masalah.

2. Tugas Interaktif
a. Orientasi Siswa pada Masalah
Siswa perlu memahami bahwa tujuan pengajaran berdasarkan masalah adalah tidak untuk memperoleh informasi baru dalam jumlah besar, tetapi untuk melakukan penyelidikan terhadap masalah-masalah penting dan untuk menjadi pemelajar yang mandiri. Cara yang baik dalam menyajikan masalah untuk suatu materi pelajaran dalam pemelajaran berdasarkan masalah adalah dengan menggunakan kejadian yang mencengangkan dan menimbulkan misteri sehingga membangkitkan minat dan keinginan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b. Mengorganisasikan Siswa Untuk Belajar.
Pada model pengajaran berdasarkan masalah dibutuhkan pengembangan keterampilan kerjasama diantara siswa dan saling membantu untuk menyelidiki masalah secara bersama. Berkenaan dengan hal tersebut siswa memerlukan bantuan guru untuk merencanakan penyelidikan dan tugas-tugas pelaporan. Bagaimana mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif berlaku juga dalam mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok pengajaran berdasarkan masalah.

3. Membantu Penyelidikan Mandiri dan Kelompok
Guru membantu siswa dalam pengumpulan informasi dari berbagai sumber, siswa diberi pertanyaan yang membuat mereka berpikir tentang suatu masalah dan jenis informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Siswa diajarkan untuk menjadi penyelidik yang aktif dan dapat menggunakan metode yang sesuai untuk masalah yang dihadapinya, siswa juga perlu diajarkan apa dan bagimana etika penyelidikan yang benar.
Guru mendorong pertukaran ide gagasan secara bebas dan penerimaan sepenuhnya gagasan-gagasan tersebut merupakan hal yang sangat penting dalam tahap penyelidikan dalam rangka pemelajaran berdasarkan masalah. Selama dalam tahap penyelidikan guru memberikan bantuan yang dibutuhkan siswa tanpa mengganggu aktifitas siswa. Puncak proyek-proyek pengajaran berdasarkan pemecahan masalah adalah penciptaan dan peragaan artifak seperti laporan, poster, model-model fisik, dan video tape.

4. Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah
Tugas guru pada tahap akhir pengajaran berdasarkan pemecahan masalah adalah membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri, dan keterampilan penyelidikan yang mereka gunakan.

Lingkungan Belajar dan Tugas-tugas Manajemen
Hal penting yang harus diketahui adalah bahwa guru perlu memiliki seperangkat aturan yang jelas agar supaya pemelajaran dapat berlangsung tertib tanpa gangguan, dapat menangani perilaku siswa yang menyimpang secara cepat dan tepat, juga perlu memiliki panduan mengenai bagaimana mengelola kerja kelompok.

Salah satu masalah yang cukup rumit bagi guru dalam pengelolaan pembelajaran yang menggunakan model pengajaran berdasarkan masalah adalah bagaimana menangani siswa baik individual maupun kelompok, yang dapat menyelesaikan tugas lebih awal maupun yang terlambat. Dengan kata lain kecepatan penyelesaian tugas tiap individu maupun kelompok berbeda-beda. Pada model pengajaran berdasarkan masalah siswa dimungkin untuk mengerjakan tugas multi (rangkap), dan waktu penyelesaian tugas-tugas tersebut dapat berbeda-beda.

Dalam model pengajaran berdasarkan masalah, guru sering menggunakan sejumlah bahan dan peralatan, dan hal ini biasanya dapat merepotkan guru dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, untuk efektifitas kerja guru harus memiliki aturan dan prosedur yang jelas dalam pengelolaan, penyimpanan, dan pendistribusian bahan.

Selain itu yang tidak kalah pentingnya, guru harus menyampaikan aturan, tata krama, dan sopan santun yang jelas untuk mengendalikan tingkah laku siswa ketika mereka melakukan penyelidikan di luar kelas termasuk di dalamya ketika melakukan penyelidikan di masyarakat.

Asesmen dan Evaluasi
Seperti halnya dalam model pembelajaran kooperatif, dalam model pengajaran berdasarkan masalah fokus perhatian pembelajaran tidak pada perolehan pengetahuan deklaratif, oleh karena itu tugas penilaian tidak cukup bila penilaiannya hanya dengan tes tertulis atau tes kertas dan pensil (paper and pencil test). Teknik penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan model pengajaran berdasarkan masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan siswa yang merupakan hasil penyelidikan mereka.

Tugas asesmen dan evaluasi yang sesuai untuk model pengajaran berdasarkan masalah terutama terdiri dari menemukan prosedur penilaian alternatif yang akan digunakan untuk mengukur pekerjaan siswa, misalnya dengan asesmen kinerja dan peragaan hasil. Asismen kinerja dapat berupa asesmen melakukan pengamatan, asesmen merumuskan pertanyaan, asesmen merumuskan sebuah hipotesa dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA
Arends, Richardl. 1997. Classroom Instructional Management. New York: The Mc Graw-Hill Company.
Dahar, S. 1988. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Depdiknas.
Ibrahim, M., dan Nur, M., 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: University Press.
Nur, M. 1998. Teori-Teori Perkembangan Sosial dan Perkembangan Moral. Surabaya: Program Pascasarjana IKIP Surabaya.
Nur, M. 2001. Perkembangan Selama Anak-Anak dan Remaja. Surabaya: PSMS Program Pascasarjana Unesa.
Nur, M. dan Wikandari, P. R. 2000. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: PSMS Program Pascasarjana Unesa.
Slavin, R.E 1994. Educational Psychologi Theory, Research, and Practice, Fifth Edition. Massachusetts: Allyn and Bacon Publishers.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.. Prestasi Pustaka: Jakarta.