Senin, 14 November 2011

Membangun Indonesia dengan Pendidikan
Oleh : Ngadiman,S.Pd,MM.
TANGGAL 17 Agustus, tepat 65 tahun lalu, bangsa Indonesia telah memproklamasikan diri untuk merdeka. Di tengah peliknya kondisi peperangan dunia saat itu, Indonesia berhasil memanfaatkan kesempatan yang ada untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Memang tidak mudah memproklamasikan kemerdekaan itu, segala upaya tenaga dan pikiran merupakan harga yang harus dibayar untuk terciptanya negara kesatuan Republik Indonesia.

Kemerdekaan Bangsa Indonesia pun bukan lahir dari segelintir orang-orang biasa, mereka adalah orang yang terpelajar, jiwa kepemimpinan yang bersemayam dalam diri mereka dan pastinya nasionalisme yang tinggi. Itulah buah dari pendidikan yang sedari kecil mereka terima. Tentunya pendidikan dalam hal ini bukan berarti mereka hanya menerima secara mentah pelajaran dari institusi pendidikan saat itu. Akan tetapi faktanya, para tokoh kemerdekaan adalah orang yang memiliki pemikiran yang kritis terhadap kondisi dan menjadi solusi bagi permasalahan yang ada. Tentunya hal tersebut merupakan hasil dari pendidikan yang mereka terima bukan dari institusi pendidikan formal saat itu. Mungkin karena tekanan yang tinggi saat itu hingga menghasilkan insan-insan muda yang tangguh, yang siap untuk membangun bangsa.

Coba kita melaju lebih jauh ke masa depan, berdasarkan statistik selama tahun 1994-2008 yang diambil dari Badan Pusat Statistik, secara umum banyak pencapaian dalam dunia pendidikan Indonesia yang  meskipun belum terlalu signifikan, hal tersebut menunjukkan peningkatan prestasi dari proses pendidikan di Indonesia selama kurun waktu tersebut. Akan tetapi pertanyaannya, apakah data tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan kondisi Indonesia saat ini? Meskipun angka dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan peningkatan jumlah peserta didik di berbagai tingkatan pendidikan, mulai dari SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi, nyatanya meski sudah 65 tahun merdeka, akan tetapi Indonesia masih 'terbelakang'. Banyaknya menara beton yang menjulang di berbagai kota besar di Indonesia, tidak dapat menjadi indikator dari keberhasilan pendidikan. Karena bisa jadi, manusia-manusia yang beraktivitas di dalamnya pun tak ubah layaknya robot-robot yang menjalani dan mengisi sendi-sendi kehidupan di Indonesia hanya dengan fisiknya saja, tanpa jiwa, hampa.

Ya itulah buah pendidikan kita selama ini, meskipun kemerdekaan telah kita raih, merah-putih telah berkibar, jiwa-jiwa ini masih terbelenggu dalam trauma penjajahan. Pemikiran-pemikiran ini masih terkekang oleh sistem warisan para penjajah. Hasilnya, pendidikan itu dianggap hanyalah sebuah proses yang harus dijalani untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang baik, semakin tinggi strata pendidikannya, semakin baik pula pekerjaan yang bisa didapatkannya. Begitulah anggapan banyak orang saat ini.

Dari banyaknya permasalahan yang berputar mengelilingi dunia pendidikan Indonesia, satu hal yang cukup krusial dan penting untuk dikritisi adalah ketidakmerataan pendidikan di Indonesia. Baik itu dalam segi infrastruktur, tenaga pendidik, hingga berbagai fasilitas pendukung lainnya. Hal ini merupakan suatu dampak dari sentralisasi pembangunan yang diberlakukan pada zaman orde baru. Akibatnya, ribuan bahkan jutaan orang dari berbagai pelosok nusantara berbondong-bondong menuju Ibu kota untuk merasakan manisnya pembangunan. Hingga akhirnya, pembangunan pun benar-benar mengalami kekacauan. Kota-kota besar mengalami ledakan penduduk dengan datangnya kaum urban dari berbagai pelosok negeri, hingga akhirnya menimbulkan berbagai masalah lainnya seperti kriminalitas, pemukiman kumuh, buruknya sanitasi dan sebagainya yang merupakan sebuah efek domino dari pangkal permasalahan yang ada. Sedangkan daerah terpencil mengalami keterlambatan pembangunan, bahkan program transmigrasi dalam artian pemindahan jumlah penduduk yang dulu diusung pemerintah pun kurang teroptimalkan.

Pembangunan yang dilakukan pemerintah selama rezim orde baru berhasil menciptakan ibu kota dengan infrastruktur yang tergolong mewah jika dibandingkan dengan kota lainnya. Dari sektor pendidikan itu sendiri pun sudah dapat kita lihat bersama bahwa sekolah-sekolah di DKI Jakarta memiliki fasilitas yang serba berkecukupan, bahkan biaya pendidikan sudah tidak terlalu membebani orang tua peserta didik lagi untuk tingkatan SD dan SMP. Tidak hanya itu, gaji seorang guru di Jakarta pun tergolong 'wah', dapat mencapai hingga 8 juta rupiah per bulannya. Dengan fasilitas yang tersedia maka tidak sulit bagi sekolah-sekolah di DKI Jakarta untuk mengukir prestasi di kancah nasional maupun internasional.

Berbeda dengan sekolah-sekolah di kota, justru fasilitas pendukung pendidikan di daerah pedesaan masih merupakan barang mahal yang sangat sulit dijangkau oleh masyarakat. Seperti yang dikutip dari artikel Pelajaran Berharga dari Desa Pindol di website wikimu.com, desa Pindol hanya memiliki sebuah sekolah dasar. Hal yang lebih memprihatinkan adalah kurangnya tenaga pengajar. Bagaimana tidak? Jumlah siswa di SD negeri Pindol sekira 200 anak dan hanya memiliki dua guru, salah seorang dari gurunya bahkan merangkap pekerjaan menjadi kepala sekolah. Tidak usah membayangkan gedung sekolah, atau bahkan fasilitas pendidikan lainnya jika melihat tenaga pengajarnya saja seperti itu. Sungguh suatu ironi.

Terlepas dari peliknya dunia pendidikan dengan berbagai permasalahan di dalamnya, salah satu tujuan dari pendidikan adalah pembangunan. Oleh karena itu, sentralisasi pembangunan pendidikan yang telah terjadi mengakibatkan keberlambatan pembangunan daerah itu sendiri. Dampaknya, akhir-akhir ini marak diberlakukannya otonomi daerah, bahkan pemekaran daerah, demi mempercepat pembangunan, khususnya daerah terpencil yang memiliki akses sangat terbatas dari perkotaan. Padahal yang terpenting dan lebih esensial adalah semangat untuk membangun Indonesia yang berawal dari daerah masing-masing, tanpa menghilangkan semangat nasionalisme tentunya. Jika kemerataan pendidikan di Indonesia telah tercapai, setidaknya kemerataan fasilitas pendidikan, tentunya pembangunan Indonesia akan lebih merata. Selebihnya, tinggal masalah waktu untuk melihat Indonesia menjadi sebuah negara maju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar