Rabu, 23 November 2011

  Perempuan Zaman Modern (Tak Selemah Dulu)




Oleh : Adi Ngadiman,S.Pd,MM.
PERNYATAAN itu barangkali sering mengusik benak kaum perempuan. Sepanjang sejarah memang tidak banyak perempuan yang menjadi pemikir, pemimpin, kaum ulama, sufi, pahlawan, pemuka, dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, secara sepintas akan terlihat sebagai bukti tentang kelemahan kaum perempuan. Asumsi ini, tampaknya, banyak dipegang baik oleh kaum laki-laki maupun perempuan.
Tentang perbedaan laki-laki dan perempuan memang sering sekali menjadi perdebatan yang hangat dan tak pernah usai. Sebagian ada yang mati-matian menyamakan dan menyejajarkan antara keduanya. Sebagian lagi ada yang secara tegas membedakan dalam berbagai hal, dan menganggapnya sebagai kodrat atau takdir. Manakah yang benar? Tentu saja keduanya harus dipandang secara proporsional mana yang berbeda dan memiliki kesamaan.
Kesalahan dalam memersepsikan persamaan dan perbedaan laki-laki dan perampuan bisa berakibat fatal. Propaganda yang gencar mengenai kesamaan laki-laki dan perempuan bisa jadi beban, justru merugikan kaum perempuan itu sendiri. Sedangkan perbedaan yang digeneralisasi dalam semua hal, juga umumnya melemahkan perempuan. Betapa banyak label-label yang dilekatkan pada perempuan yang seolah-olah merupakan kodrat pada umumnya bernada negatif. Selain kurang cerdas dan emosional, perempuan pun seringkali dianggap boros, santai, penakut, cerewet, tidak tegas, senang menggosip, dan lain-lain.
Dua Aliran
Pandangan stereotip terhadap karakteristik (status dan juga peran) perempuan melahirkan dua aliran besar (mainstream). Pertama, teori nature (alam) yang beranggapan bahwa karakter perempuan disebabkan karena faktor biologis dan komposisi kimia dalam tubuh. Perbedaan tersebut menimbulkan aspek psikologis dan intelektual. Bila laki-laki dianggap mempunyai sifat agresif, rasional, independen, percaya diri, pemberani, perempuan sebaliknya. Menurut teori ini, faktor-faktor itu menyebabkan problem kebergantungan. Karena itu, perempuan dianggap sukar maju dan berkembang sehingga kurang memiliki peranan di masyarakat.
Kedua, teori nurture (kebudayaan). Menurut teori ini, faktor yang paling menentukan posisi, peran, dan karakteristik perempuan adalah lingkungan serta budaya. Selama ini, budaya, pola asuh, dan struktur masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap tumbuh kembangnya potensi perempuan. Sehingga, sesungguhnya, anggapan kurang cerdasnya perempuan itu bukan faktor bawaan.
Masih berkaitan dengan masalah di atas, menurut para feminis, terdapat kekeliruan yang mendasar terhadap persoalan perbedaan laki-laki dan perempuan. Ada perbedaan antara faktor yang disebut kodrat dan apa yang sekarang populer disebut gender. Kodrat merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan aspek biologis. Hal yang bersifat biologis ini melekat pada jenis kelamin tertentu, sehingga tidak dapat dipertukarkan. Contohnya perbedaan pada organ reproduksi. Perempuan alat reproduksinya berupa rahim, vagina, dan payudara yang memungkinkan dapat mengandung, melahirkan, juga menyusui. Sedang organ reproduksi laki-laki sangat berbeda. Hal inilah yang dimaksud dengan kodrat, ketentuan dan ciptaan Allah SWT yang tidak dapat berubah, mutlak, dan tanpa kecuali.
Kemudian faktor gender merupakan perbedaan laki-laki dan perempuan yang ditentukan berdasarkan anggapan manusia atau masyarakat karena pola sosial dan budaya. Misalnya laki-laki dianggap kuat, memiliki akal rasional, dan perkasa. Sedangkan perempuan lembut, perasa, dan emosional. Hal-hal semacam ini sebenarnya bukan kodrat atau ciptaan Allah. Tapi, diciptakan dan dibentuk oleh suatu budaya masyarakat. Oleh karenanya, stereotip seperti itu dapat berubah dan dipertukarkan.
Kenyataannya, tidak semua laki-laki lebih cerdas atau pintar daripada perempuan. Sebaliknya, ada juga laki-laki yang emosional dan lemah lembut. Pandangan tentang kehebatan dan kelebihan (superioritas) dan kelebihan akal tidak bersifat mutlak serta bukan sesuatu yang kodrati.
Faktor Agama
Mencermati dua aliran pemikiran tersebut, tampaknya, kita perlu jeli melakukan analisis. Pandangan ekstrem bahwa faktor biologis atau kodratlah yang menentukan sifat perempuan tentu saja salah. Fakta membuktikan bahwa tidak 100% perempuan kurang cerdas, emosional, dan lain-lain. Meski dalam jumlah tidak banyak ada perempuan-perempuan dalam lintasan sejarah yang memiliki keutamaan dan sangat berperan di masyarakat. Bukankah Aisyah, istri Rasulullah SAW, juga seorang yang cerdas? Bukankah sejarah Indonesia sendiri memiliki Tjoet Nyak Dien, pahlawan Aceh terkenal yang pemberani.
Kurangnya perempuan yang ’’berhasil’’ bukan karena tidak berpotensi, tapi kurangnya kesempatan yang diberikan untuk berkembang. Perempuan menjadi tidak cerdas justru karena dianggap bodoh. Ketika masyarakat makin menyadari pentingnya pendidikan dan memberikan kesempatan untuk belajar, banyak perempuan yang mengungguli laki-laki.
Hal ini tentu saja bisa dijadikan tolok ukur. Kalau kian terbukti perempuan bisa jadi pandai tentu saja perempuan pun bisa menjadi seseorang yang tidak terlalu tergantung, emosional, lemah, kurang bisa mengatur waktu, menjaga lidah dan lain-lain. Begitu banyak sifat negatif yang ditimpakan seolah-olah milik perempuan dan dianggap ’’sudah dari sananya’’ yang seolah sulit untuk diubah. Pandangan seperti itulah yang justru mengajari perempuan untuk memiliki karakteristik negatif dan lemah.
Tak ada satu ayat pun dalam Alquran yang mengatakan sifat wanita dan laki-laki merupakan ketentuan atau kodrat. Secara tegas dan eksplisit dinyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi untuk beriman dan bertakwa sebagaimana yang dikatakan dalam surat An Nisa ayat 124 yang berbunyi : ’’Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun’’.
Aliran lain yang mengatakan tidak ada kaitan antara aspek biologis (termasuk organ reproduksi dan komposisi kimiawi) dengan aspek kejiwaan (psikologis) laki-laki dan perempuan tentu saja perlu dipertanyakan juga. Bukankah dengan proses reproduksi seperti hamil, melahirkan, menyusui, membuat perempuan cenderung lebih peka, penyayang, lembut, dan lain-lain. Meskipun, dalam kasus khusus ada juga kelembutan laki-laki melebihi perempuan. Sifat yang umumnya dianggap dominasi wanita tak selamanya buruk, bahkan sangat dibutuhkan dalam rumah tangganya baik untuk membesarkan anak-anaknya maupun dalam mendampingi suami.
Pola Asuh
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dengar ketika seorang anak laki-laki menangis orang tua akan mengatakan, ’’Masak, anak laki-laki cengeng. Seperti anak perempuan saja!’’ Hal ini menunjukkan masyarakat umumnya mendidik anak laki-laki untuk kuat, berani, mandiri, dan tidak cengeng. Namun, memaklumi bahkan cenderung membiarkan anak perempuan untuk bersikap lemah. Hal tersebut, tidak saja untuk yang berkaitan dengan masalah emosional. Tapi juga dalam hal fisik. Ketika anak perempuan aktif, berlari-lari, dan memanjat, umumnya orang tua melarang bersikap demikian. Padahal, itu baik untuk latihan fisiknya.
Selama ini, paham ini terus tersosialisasi secara mantap yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan menganggap lalu meyakini karakteristik perempuan adalah kodrat. Sebagai sesuatu yang diterima dan tidak dapat dirasakan sebagai sesuatu yang salah.
Kaum perempuan harus mau mengubah diri karena hanya diri kita sendirilah yang bisa mengubah. Barangkali tak mudah mengubah persepsi yang sudah dianggap menjadi keyakinan bersama, namun secara perlahan kita bisa mencoba.
Oleh karena itu, yang paling berperan untuk mendobrak semua ini adalah keluarga. Sebab, keluargalah yang akan paling berpengaruh. Orang tua harus yakin sifat laki-laki dan perempuan bukan sesuatu yang mutlak yang merupakan bawaan. Orang tua harus mendidik tidak cengeng, kuat, berani, mandiri, tegas, dan tidak saja pada anak laki-laki. Tapi juga kepada anak perempuan. Dengan demikian, berbagai pandangan negatif tentang sifat wanita dapat dihilangkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar